Home » » JPN sebagai Pengacara Negara

JPN sebagai Pengacara Negara


Oleh : Erryl Prima Putera Agoes

KabarIndonesia - Momentum reformasi yang bergulir sejak tahun 1997/98, telah membawa berbagai perubahan mendasar terhadap pola pikir dan tata laku dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut antara lain berimbas kepada makin semaraknya tuntutan terhadap suasana keterbukaan, aplikasi prinsip-prinsip demokrasi serta mewabahnya sikap kritis warga masyarakat. Diprediksi ke depan, kecederungan merebaknya gugatan-gugatan tersebut akan makin berkembang kompleksitasnya.

Pada 26 Juli 2004, sebagai ganti penyempurnaan pendahulunya telah diundangkan UU No16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk semakin mantap menjiwai pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang kejaksaan selaras dengan perkembangan keperluan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks. Konsekuensinya sebagai salah satu lembaga penegak hukum, mengharuskan kejaksaan secara teknis maupun non teknis wajib meningkatkan profesionalismenya. Hal ini diantisipasikan guna menghadapi berbagai macam tugas ke depan yang tidak bertambah mudah, tetapi justru semakin rumit dan berat tantangan.

Secara pokok tugas fungsi dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 UU No16/2004 tentang Kejaksaan RI, yakni tidak saja dibidang hukum pidana hukum perdata dan tata usaha negara saja, namun juga melaksanakan tugas-tugas lain yang ditentukan undang-undang. Di bidang hukum perdata dan tata usaha negara (Datun), kejaksaan dapat mewakili negara atau pemerintah baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan. Namun demikian peran "dapat mewakili" ini ternyata kurang tersosialisir serta kurang dimanfaatkan oleh pemerintah/negara, termasuk di dalamnya BUMN maupun BUMD.

Sebagaimana diketahui berdasarkan UU No16/2004, kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang merupakan bagian dari salah satu sistem dalam peradilan pidana terpadu (ICJS: Integreted Criminal Justice System). Selain itu diatur pula tugas di bidang Datun dimana kejaksaaan dapat mewakili pemerintah/negara. Jaksa yang sedang melaksanakan tugas ini disebut Jaksa Pengacara Negara (JPN), yakni bertindak seperti advokat bagi yang menguasakan untuk mewakilinya.

Bukti Konkret
         
Sudah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa akibat bergulirnya reformasi telah membuat perubahan mendasar terhadap pola pikir dan tata laku warga masyarakat. Realitas demikian juga membawa konsekuensi dalam reformasi hukum, khususnya bidang Datun, lebih fokusnya atas keberadaan JPN. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran hukum, atau merebaknya keberanian warga masyarakat menggugat berbagai kebijakan pemerintah/negara. Beberapa contoh konkret di antaranya:

Pertama, pada 2005 ada class action (gugatan perwakilan kelompok) yang diadukan oleh sekitar 20 juta mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap presiden dan mantan presiden RI. Penggugat mendalilkan bahwa pemerintah RI telah melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pelanggaran hak asasi manusia terhadap mereka. Penggugat menuntut agar pemerintah RI dihukum untuk membayar ganti rugi minimum Rp400 juta per penggugat, sehingga jumlah keseluruhannya Rp8.000 triliun. Pemerintah RI selanjutnya menugaskan Jaksa Agung cq JPN menghadapi gugatan tersebut. Atas usaha keras para JPN, pemerintah RI akhirnya terhindar dari kewajiban membayar ganti rugi tersebut.

Kedua, terindikasinya usaha-usaha untuk merugikan negara dengan cara mengajukan gugatan perdata. Kekayaan negara yang paling rawan dalam hubungan ini adalah aset dalam bentuk tanah. Penggugat mendalilkan bahwa tanah dimaksud adalah miliknya seperti yang terjadi pada tanah hak PT Telkom Sorong-Papua, tanah kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, tanah-tanah yang digunakan oleh Kejaksaan Tinggi Gorontalo dan lain sebagainya. Namum berkat berbagai alat bukti maupun saksi serta kontribusi JPN, semua dalil gugatan terbantah sehingga terselamatkan aset-aset tersebut.

Ketiga, munculnya strategi menggunakan gugatan perdata untuk mengusahakan agar tindakan-tindakan kejaksaan dalam rangka pemberantasan korupsi, dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum atau tidak sah. Contoh dalam kasus terpidana korupsi David Nusa Wijaya. Sanak saudara terpidana menggugat dengan mendalilkan bahwa, penyitaan dan perampasan barang yang dilakukan kejaksaan adalah perbuatan melanggar hukum karena barang barang tersebut milik penggugat, bukan milik terpidana. Setelah melalui persidangan perdata yang cukup panjang, akhirnya kejaksaan diwakili Jaksa Pengacara Negara dapat memenangkan perkara tersebut.

Keempat, banyak sudah pemerintah daerah, BUMN maupun BUMD mangadakan/membuat naskah kerja sama (Memorandum of Understanding/MoU) dengan institusi kejaksaan, yang maksudnya adalah kerja sama dalam pemerian bantuan hukum dengan mengunakan JPN jika terjadi gugatan terhadap lembaga pemerintah maupun badan usahanya.

Beberapa contoh tersebut di atas, sebenarnya sudah menunjukan kontribusi eksitensi mupun peran serta JPN dalam bidang Datun. Namun ada beberapa hambatan di antaranya :
  1. Minim atau sangat kurangnya kegiatan sosialisasi menyangkut keberadaan JPN.
  2. Terbatasnya jumlah personel jaksa yang secara khusus mendapatkan bekal tambahan pendidikan/pelatihan menuju profesionalisasi sebagai JPN.
  3. Kecenderungan adanya keengganan mengunakan ataupun menugaskan JPN. Institusi pemerintah/negara jika mendapat gugatan Datun, biasanya lebih "sreg" menugaskan bagian/biro hukumnya atau malahan advokat untuk menghadapi gugatan tersebut.
  4. Dalam memberikan bantuan hukum perdata, sering dipermasalahkan dan dipersidangan mendapat semacam eksepsi dari Advokat. Mereka ( para Advokat ) menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No18/2003 tentang Advokat, bantuan hukum hanya dapat diberikan oleh advokat. Beruntungnya selama ini dalam persidangan Hakim selalu mengabaikan, atau menolak eksepsi tersebut dengan menyatakan bahwa JPN adalah penugasan khusus bersifat kasuistis berdasarkan UU No16/2004 tentang Kejaksaan RI.
  5. Masih sering timbul pertanyaan apakah BUMN/D itu termasuk bagian pemerintah/negara atau tidak? .
  6. Masalah Surat Kuasa Khusus (SKK). Bersarkan pasal 30 ayat 2 UU No16/2004 secara tegas menyatakan , bahwa di bidang hukum Datun kejaksaan dapat mewakili pemerintah/negara RI baik di dalam maupun di luar pengadilan.
  7. Tidak adanya anggaran dana operasional yang mencukupi dalam hal mengajukan gugatan untuk pemulihan keuangan negara. Kedelapan, kurangnya literatur menyangkut Datun, publikasi maupun kegiatan/pelatihan yang mendukung.**
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Test Footer 1

Popular Posts

 
Support : Copyright © 2013. Abu Laes, SH - Pengacara di Kudus - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Tum hi ho lyrics | How to get rid of hiccups

Proudly powered by Blogger