Oleh: Ria Casmi Arrsa SH
(Peneliti, Penggiat, dan Pengamat Hukum)
”Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.”(Khalifah Umar bin Khatthab).
“…….Corruption is a cancer that steals from the poor, eats away at governance and moral fiber, and destroy trust”. (Robert B.Zoellick).
Pendahuluan
Republik ini didirikan dan diikrarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa (Founding fathers) dengan sebuah niat suci dan tujuan yang baik yaitu hendak “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.# Proklamasi kemerdekaan sebagaimana telah dikumandangkan merupakan titik kulminasi perjuangan anak bangsa untuk menyatakan diri keluar dari penderitaan dan belenggu penjajahan. Oleh sebab itu kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperoleh merupakan hasil perjuangan bukan semata-mata hadiah yang datang secara tiba-tiba.
Sebuah spirit kebangsaan dan kenegarawanan yang sangat ideal untuk mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan secara filosofis-politis merupakan jembatan emas bagi bangsa Indonesia untuk melakukan pembangunan baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang dimiliki. Ruh perjuangan para pahlawan negeri ini turut senantiasa menjadi cermin dalam mengemban amanat kemerdekaan untuk mengisi bangsa ini dengan pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Akan tetapi nampaknya bangsa ini telah melupakan fakta sejarah yang begitu heroik. Semangat patriotisme untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan telah ternoda oleh penjajahan yang dilakukan oleh sekelompok elit di negeri ini. Bangsa Indonesia seakan mengalami degradasi moral sehingga para petinggi negeri ini justru menjajah bangsanya sendiri dengan perilaku korup. Mengutip pendapat dari Djamaludin Ancok yang menyatakan bahwa,”Bangsa Indonesia pada saat ini seperti kain yang tercabik, tidak menampilkan sosok bangsa yang utuh. Dalam kondisi seperti sekarang ini bangsa Indonesia akan sulit keluar dari krisis multidimensional”. Selanjutnya Djamaludin Ancok menyatakan “Kita sebagai bangsa sudah kehilangan modal untuk melepaskan diri dari kemelut kehidupan yakni modal sosial. Modal sosial yang berguna sebagai perekat dan dapat mempersatukan seluruh warganya untuk mencapai tujuan bersama”
Perilaku korupsi sudah tidak menunjukkan adanya modal sosial bagi bangsa ini. Korupsi seakan telah mencabik-cabik bangsa ini dengan penderitaan dan pertikaian yang tiada henti. Akankah nasib bangsa ini akan tenggelam diterpa badai korupsi ataukah masih ada secerca harapan untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang senantiasa memiliki kebanggaan terhadap kekayaan sumber daya alamnya. Dengan demikian jelas bahwa paradigma pemberantasan korupsi membutuhkan ikhtiar yang revolusioner sebagai wujud komitmen setiap komponen anak bangsa untuk mengembalikan khittah perjuangan para pahlawan dan pendiri bangsa yang telah membebaskan negeri ini dengan darah dan air mata. Maka dari itu ikhwal pemberantasan korupsi merupakan proses berkesinambungan untuk mengeluarkan bangsa ini dari kebekuan berfikir (jumud), Oleh sebab itu dalam tulisan ini penulis hendak mengajak kepada setiap komponen anak bangsa di negeri ini untuk senantiasa menggunakan akal dan fikiran sebagai bagian dari olah nurani dan pola pikir strategis. Dengan berfikir untuk berikhtiar mengeluarkan bangsa ini dari belenggu korupsi maka kepekaan sosial sebagai bagian dari modal sosial akan senantiasa terbentuk. Terbentuknya modal sosial merupakan bangunan karakter yang handal bagi bangsa ini untuk menumbuhkan spirit anti korupsi.
Potret Buram Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Realitas sosial praktek korupsi dan monopoli kekuasaan merupakan anak kandung lahirnya gerakan reformasi yang bergulir pada tahun 1998. Gerakan reformasi secara gramatikal diartikan sebagai upaya dalam membentuk, menyusun, dan mempersatukan kembali.# Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) menjadi penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratis, efisien, dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.
Sejarah mencatat bahwa agenda reformasi yang bergulir pada tahun 1998 yaitu hendak menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis serta bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bergulirnya gelombang reformasi menuntut adanya sebuah perbaikan kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca orde baru. Adapun agenda reformasi yang bergulir menghendaki adanya:
Amandemen UUD 1945;
Penghapusan dwi fungsi ABRI;
Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN);
Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
Mewujudkan kebebasan pers;
Mewujudkan kehidupan demokratis.
Disamping itu dalam pandangan internasional IDEA agenda reformasi pasca berhentinya Soeharto meliputi beberapa bidang antara lain:#
Konstitusionalisme dan aturan hukum;
Otonomi daerah;
Hubungan Sipil dan Militer;
Masyarakat sipil;
Reformasi tata pemerintahan dan pembangunan sosial ekonomi;
Gender,dan
Pluralisme agama.
Berkaca pada cita-cita luhur diatas nampaknya dalam perjalanan 12 tahun reformasi masih jauh dari cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih dari praktek korupsi. Korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan tiga perbuatan yang mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya seringkali menjadi satu kesatuan tindak pidana atau merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi.# Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan.#
Dalam terminologi fiqh Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai kejahatan (jarimah) terhadap amanah. Korupsi identik dengan risywah (suap) dan at tajawwuz fi isti’mal al-haq (menyalahgunakan wewenang). Jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi disebut pencurian (sariqah) dan jika dilakukan secara terang-terangan disebut sebagai perampokan (al nahb). Korupsi termasuk kejahatan terhadap harta benda manusia (akl amwal al-nas bi al-bathil) dan secara esensial mirip dengan ghulul, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang (ghanimah).Ghulul jelas-jelas diharamkan dalam al-Qur’an dengan ancaman bahwa pelakunya akan membawa serta barang yang dikorupsinya sebagai pertanggungjawaban di akhirat.
Menurut M. Cholil Nafis, dalam tindakan korupsi sedikitnya terdapat tiga kejahatan,yaitu; pertama, kejahatan yang berdampak pada hilangnya uang negara sehingga tindakan korupsi yang akut akan menyebabkan hilangnya hajat hidup orang banyak, memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, dan menghilangkan keadilan. Kedua, korupsi dapat menghilangkan hak hidup warga negara dan regulasi keuangan negara. Negara yang korup akan menyebabkan lahirnya kemiskinan dan kebodohan. Ketiga, kejahatan korupsi menggerogoti kehormatan dan keselamatan generasi penerus. Temuan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup menyebabkan harga diri kita sebagai bangsa menjadi ternoda. Berdasarkan hal tersebut, maka korupsi telah bertentangan dengan tujuan syariah (maqashid alsyari’ah),
yaitu melindungi jiwa (hifd al-nafs), melindungi harta (hifd al-mal) dan melindungi keturunan (hifd al-nasl). Korupsi juga melanggar perlindungan terhadap akal (hifd al-aql) dan penodaan terhadap agama (hifd al-din).
Menurut Subekti korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri sendiri yang secara langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara.# Sedangkan Transparency Internasional mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.# Dalam kamus ilmiah populer, korupsi mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri sendiri, pemalsuan.# Dalam perkembangannya definisi tentang tindak pidana korupsi selalu mengalami perubahan, hal ini disebabkan oleh adanya suatu sifat dinamis terhadap pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan kondisi masyarakat yang selalu berubah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (kodifikasi: wetbook van strafrecht) terdapat suatu pengaturan tentang tindak pidana penggelapan (Pasal 372-377 KUHP) yang proses beracaranya ataupun hukum formilnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat pula ketentuan Pasal 415, 416, 417, 423, 435 KUHP perihal kejahatan jabatan. Dalam ketentuan tersebut terdapat banyak kekurangan utamanya terhadap sifat melawan hukum serta unsur objektif yaitu merugikan kekayaan milik negara, adanya kenyataan yang demikian itu menyebabkan diperlukan adanya suatu pengaturan yang lebih khusus, lebih lengkap berdasarkan pada perkembangannya dalam masyarakat terus berubah.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi baik yang berlaku saat ini maupun yang pernah berlaku antara lain: Undang-Undang No 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 1960 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang No 24 Prp 1960 tentang Anti Korupsi, Undang-Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.# Dari beberapa peraturan perundang-undangan baik yang berlaku saat ini maupun yang pernah berlaku tersebut terdapat pengertian/definisi tentang tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Undang-Undang tersebut terdapat beberapa pengertian tentang tindak pidana korupsi berdasarkan karakteristik/jenis ataupun bentuk dari tindak pidana korupsi itu sendiri yang kesemuanya terdapat dalam beberapa pasal dalam undang-undang tersebut antara lain:#
Korupsi yang terkait dengan Kerugian Keuangan Negara ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3, Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur:
Korupsi yang terkait dengan Suap-menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat 2, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d)
Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c)
Korupsi yang terkait dengan Pemerasan ( Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g)
Korupsi yang terkait dengan Pemerasan Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2) , Pasal 12 huruf h)
Korupsi yang terkait dengan Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i)
Korupsi yang terkait dengan Gratifikasi (Pasal 12 B jo Paal 12 C)
Berdasarkan uraian diatas di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri terutama terhadap apa yang tercantum dalam Pasal 2 yang menitik beratkan pada perbuatan melawan hukum materiil secara umum dijelaskan bahwa pengertian tindak pidana korupsi tersebut dibuat agar dapat menjangkau berbagai macam cara (modus operandi) penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dengan perkembangan masyarakat menjadi semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.#
Korupsi secara sistemik merupakan bentuk kesewenang-wenangan penguasa maka hal tersebut perlu di berantas Karena dampak yang ditimbulkan dapat merugikan negara maupun rakyat. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) maka dalam konteks ini penanganannya juga harus dengan model yang luar biasa pula. Sebagai bentuk dari kejahatan luar biasa korupsi menimbulkan dampak sosial yang luar biasa. Kesenjangan sosial, kemiskinan, merupakan salah satu bentuk dari perbuatan korupsi yang dilakukan oleh segenap oknum pejabat negara di negeri ini.
Perihal yang sangat memprihatinkan yaitu perilaku korup bagi bangsa Indonesia seakan sudah menjadi trend atau kebiasaan dalam kehidupan (Way of live). Disamping itu praktek korupsi tidak hanya menjadi kendala struktural akan tetapi korupsi telah membudaya (nation culture) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari realitas birokrasi baik ditingkat pusat maupun daerah. Krisis ekonomi sejak periode 1997 tidak hanya membawa dampak terhadap perekonomian bangsa tetapi meluas hingga tercipta krisis multidimensi yang berakibat pada tumbuh subur dan berkembangnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional (TI) menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara akan berujung pada suatu tindak kejahatan. Sungguh menyedihkan melihat bahwa dari 180 negara, 129 di antaranya mendapat skor di bawah 5, yang berarti nyaris 3/4 dari total negara yang diteliti. Hanya 51 negara yang memperoleh skor di atas atau sama dengan 5. Tahun ini Indonesia kembali naik kelas. Indonesia naik dua poin dari 2,6 pada tahun lalu (2008) menjadi 2,8 pada tahun ini 2009. Dengan skor ini, rangking Indonesia pun terdongkrak cukup signifikan: 111 dari 180 negara (naik 15 posisi dari tahun lalu). Indonesia berada pada posisi 111 ini bersama dengan negara?negara seperti Algeria, Djibouti, Mesir, Kiribati, Mali, Sao Tome dan Principe, Kepulauan Solomon, dan Togo. Terlihat bahwa satu?satunya negara besar lain di grup ini hanyalah Mesir. Di kawasan regional ASEAN, Indonesia juga tidak lagi menduduki posisi yang tak jauh?jauh dari posisi juru kunci, melainkan sudah naik kelas ke posisi menengah, yakni ke?5 dari 10 negara. Padahal sebelumnya Indonesia acap berlangganan posisi lima bawah. Berikut uraian lengkap mengenai data indek korupsi dari Transparansi Internasional (TI) pada tahun 2009.
Peringkat ASEAN
Peringkat Dunia Negara Indeks Persepsi Korupsi
1 3 Singapura 9,2
2 39 Brunei Darussalam 5,5
3 56 Malaysia 4,5
4 84 Thailand 3,4
5 111 Indonesia 2,8
6 120 Vietnam 2,7
7 139 Filipina 2,4
8 158 Kamboja 2,0
9 158 Laos 2,0
10 178 Myanmar 1,4
Tabel I.1 Indeks Persepsi Korupsi 2009
Sumber: Transaparansi Internasional
Tabel I.2 Laporan Korupsi di Lingkungan Aparatur Negara
No Jenis Korupsi Sektor
1 Suap dan Pemerasan Bea cukai, Perpajakan, Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, Perizinan
2 Manipulasi Uang Negara Pengadaan Barang dan Jasa Konstruksi Pekerjaan Umum
Pengadaan Barang dan Jasa militer
Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah
3 Politik Uang Partai Politik dan DPR
4 Kolusi Bisnis Militer dan Polisi Lewat Koperasi dan Yayasan dan Koperasi pegawai Pemerintah
Sumber:Transparansi Internasional 2009 (data diolah) Agustus 2009
Tabel I.3
Perbandingan Skor dan Urutan Terkorup Institusi di Indonesia Menurut Barometer Korupsi Global dari Tahun ke Tahun
Institusi Barometer Korupsi Global
dari tahun ke tahun**
(rentang skor 1-5; 1=tidak korup sama sekali, 5=sangat korup)
2004 2005 2006 2007 2009
Partai Politik 4,4* 4,2* 4,1 4,0 4,0
Legislatif 4,4* 4,0 4,2* 4,1 4,4*
Kepolisian 4,2 4,0 4,2* 4,2* -
Lembaga Peradilan 4,2 3,8 4,2* 4,1 4,1
*=institusi dengan skor paling tinggi/paling korup pada tahun itu
**= Survei BKG dilaksanakan pertama kali tahun 2003,
tetapi metodenya berbeda dengan survei-survei di tahun-tahun selanjutnya.
Sumber: Transparansi International 2009
Dalam kasus korupsi yang terjadi di berbagai daerah yang melibatkan sejumlah petinggi pemerintahan, dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejauh ini setidaknya melibatkan 5 orang Gubernur, 4 orang Walikota dan 18 orang Bupati. Daftar tersebut akan semakin bertambah panjang, mengingat masih banyak sejumlah korupsi yang melibatkan petinggi pemerintahan daerah yang belum mendapatkan izin pemeriksaan dari institusi diatasnya. Berikut sejumlah kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kepala pemerintahan di daerah itu :
Tabel I.4
Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kepala pemerintahan di daerah korupsigubernur
No Nama Jabatan Kasus Besar Kerugian
1 AJ Sondakh Gubernur Sulut Manado Beach Hotel Rp. 11,5 Miliar
2 Zaenal bahar Gubernur Sumbar Kasus Korupsi Dana APBD 2002 Rp. 5,9 Miliar
3 Djoko Munandar Gubernur Banten Dana Perumahan Dewan Rp. 10 Miliar
4 Lalu Serinata Gubernur NTB Kasus Korupsi APBD NTB tahun 2001 dan tahun 2004 Rp.24 Miliar
5 Abdullah Puteh Gubernur NAD Mark up Pengadaan Helikopter MI-2 Rp. 6,8 Miliar
KorupsiWalikota
1 Badrul Kamal Walikota Depok Korupsi Dana Rutin Kota Depok Rp. 9,4 Miliar
2 Zuiyen Rais Walikota Padang Kasus Korupsi APBD
3 Khalik Effendi Walikota Bengkulu Kasus Korupsi Pembangunan Gedung Seleksi Tilawatil Quran Nasional (STQN) Rp. 65 Miliar
4 Raymundus Sailan Walikota Singkawang APBD 2003 Rp. 1,95 Miliar
Korupsi Bupati
1 Gahral Syah Bupati Halmahera Barat Kasus korupsi dana pemekaran wilayah pada 2002-2003 Rp. 23,5 Miliar
2 Drs. Chairullah Bupati Serdang, Sumut Kasus dugaan korupsi penggunaan dana bantuan proyek Pembinaan Keamanan Ketertiban dan proyek Bantuan Kemasyarakatan Tahun 2004 Rp. 2,3 Miliar
3 Supriyono Bupati Musi Kasus penyimpangan penggunaan dana proyek promosi pada Expo di Yogyakarta
4 Lukman Abu Nawas Bupati Kendari Penyelewangan keuangan Negara dengan cara mengeluarkan dana APBD 2003 untuk pesangon DPRD Rp. 2 Miliar
5 AP Youw Bupati Nabire Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kab. Nabire
6 Syamsul Hadi Bupati Banyuwangi Korupsi Pembelian Kapal Sri Tanjung Rp. 15 Miliar
7 H.M. Madel Bupati Sarolangun, Jambi Korupsi Pembangunan Dermaga Ponton Rp. 3,5 Miliar
8 Ibrahim Agustinus Bupati Kupang Dana Proyek Pengadaan 300 Unit Rumpon Rp. 3,9 Miliar
9 Bahruddin H. Lisa Bupati Barito Selatan Kayu Ilegal Rp. 80 Miliar
10 H. Kalamudin Djinab Bupati Muara Enim - -
11 Bina B Bahajak Bupati Nias Dana PSDA Kehutaann tahun 2001 Rp. 2 Miliar
12 Anthony Bagul D Bupati Ruteng, Flores Pembangunan Rumah Pribadi Bupati Rp. 3 Miliar
13 Masdjumi Bupati Berau Kasus korupsi peniadaan pungutan Dana Reboisasi (DR) dan Propinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) Rp. 88 Miliar
14 Imam Muhadi Bupati Blitar Kasus korupsi uang kas Kab. Blitar Rp. 32 Miliar
15 Imam Yuliansyah Bupati Barito Utara, Kalteng Lelang illegal logging Rp 3 Miliar
16 Felix Fernandez Bupati Flores Timur, NTT Pembelian tanah untuk lokasi terminal Waibalun, Larantuka dan kasus pembelian kapal ikan Belum diketahui
17 Daniel Banunaek Bupati Timor Tengah Selatan Kasus dana purna bakti Timor Tengah Selatan, 1999-2004 Rp 1 Miliar
18 Christian Nehemian Dellak Bupati Rote Ndao, NTT Proyek pengadaan dua unit kapal penampung ikan dan biaya operasional 10 unit kapal penangkap ikan tahun anggaran 2002
Sumber: Korupsi Gubernur, Walikota dan Bupati, ICW.
Disamping itu sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi itu, sejumlah langkah ditempuh. Diantaranya; pertama, melakukan review terhadap terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi yang telah dihentikan penyidikannya melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kedua, Mempercepat proses penyidikan perkara-perkara tindak pidana korupsi seluruh Indonesia dari penyidikan untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan. Saat itu penyidikan perkara korupsi seluruh Indonesia sebanyak 178 kasus, dan Kejaksaan Agung menargetkan 76 perkara untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan. Ketiga, mempercepat proses pra penuntutan perkara tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia untuk ditingkatkan ke tahap pelimpahan ke pengadilan, dengan target 62 berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk disidangkan.
Sedang dalam kasus perkara SP3, dari 25 orang tersangka korupsi penerima SP3, Kejaksaaan Agung menargetkan untuk mereview kembali 5 kasus diantaranya. Berikut daftar ke- 25 orang tersebut:
Tabel V Daftar 25 orang tersangka korupsi yang mendapat SP3 dari Kejaksaan Agung
No Tersangka Perkara Jumlah Kerugian
1 Ginandjar Kartasasmita Dugaan Korupsi technical Assistance Contract (TAC) US$ 24,8 juta
2 (Alm) Faisal Abda’oe Dugaan Korupsi technical Assistance Contract (TAC) US$ 24,8 juta
3 Praptono Honggopati Tjitrohupojo Dugaan Korupsi technical Assistance Contract (TAC) US$ 24,8 juta
4 Sjamsul Nursalim Dugaan Korupsi BLBI Rp 10 triliun
5 Djoko Ramiadji Dugaan korupsi penerbitan commercial paper oleh PT. Hutama Karya untuk proyek JORR US$ 105 juta dan
Rp 181,35 miliar
6 Siti Hardijanti Rukmana Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa US$ 20,4 juta
7 (Alm) Faisal Abda’oe Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa US$ 20,4 juta
8 Rosano Barrack Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa US$ 20,4 juta
9 Prajogo Pangestu Dugaan korupsi proyek penanaman hutan oleh PT. MHP Rp 331 miliar
10 Abdul Latief
(mantan Menaker) Dugaan korupsi Jamsostek Rp 7,1 milair
11 Abdullah Nussi
(mantan Dirut Jamsostek) Dugaan korupsi Jamsostek Rp 7,1 milair
12 Yudo Swasono
(mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Depnaker Dugaan korupsi Jamsostek Rp 7,1 milair
13 Soewardi
(mantan Gubernur Jateng) Dugaan korupsi Asrama Haji Donohudan Rp 19 miliar
14 Johannes Kotjo Dugaan korupsi Bapindo-Kanindotex Rp 300 miliar
15 Robby Tjahjadi Dugaan korupsi Bapindo-Kanindotex Rp 300 miliar
16 Prijadi Dugaan korupsi di BRI Rp 572,2 miliar
17 Djoko Santoso Dugaan korupsi di BRI Rp 572,2 miliar
18 The Nin King Dugaan korupsi di BRI Rp 572,2 miliar
19 Joko S Tjandra Dugaan korupsi di BRI Rp 572,2 miliar
20 Marimutu Sinivasan Dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit ke PT. Texmaco Rp 1,8 triliun
21 Sukamdani Sahid Gitosardjono Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI Rp 418 miliar
22 Adriansyah Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI Rp 418 miliar
23 Bob Hasan Dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) US$ 86 juta
24 Tjipto Wignjoprajitno Dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) US$ 86 juta
25 Raja DL Sitorus Dugaan korupsi Torganda di Riau Rp 213,5 miliar
Sumber:ICW
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). yang menimbulkan efek sosial kemasyarakatan maupun sekat kesenjangan yang sangat membahayakan. Disamping itu perilaku korupsi akan senantiasa membawa kea arah paradigma degradasi moral. Sebuah adagium menyebutkan bahwa Semakin dekat seseorang dengan kekuasaan maka akan cenderung untuk berbuat korup hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam petikan surat Lord Acton, tahun 1887, yang ditujukan kepada seorang penguasa Gereja, Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”.
Korupsi secara sistemik menimbulkan berbagai dampak negatif dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara antara lain, demokrasi (politik), ekonomi, sosial (kesejahteraan umum), dan budaya (moral).
Politik (demokrasi). Korupsi dalam dunia politik dapat menghambat terwujudnya cita kehidupan yang demokratis dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Korupsi yang terjadi dalam pemilihan umum dan badan legislatif akan mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam pembentukan kebijaksanaan. Korupsi dalam sistem peradilan dapat menyebabkan lemahnya penegakan hukum, dan korupsi pada sistem pemerintahan publik dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Selain itu, korupsi juga mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Korupsi menyebabkan terjadinya distorsi proses politik dan menjadikan politik hanya sebagai komoditas di antara kalangan politisi dan eksekutif, sehingga banyak kebijakan yang di dasarkan atas kompromi politik yang tidak memihak kepentingan rakyat. Korupsi juga menyebabkan fungsi dan struktur di hampir sebagian lembaga pelayanan publik menjadi berbiaya tinggi dan tidak fungsional. Hal ini tidak hanya menyebabkan kualitas pelayanannya tidak baik, tetapi juga menimbulkan dampak sosial lainnya.
Ekonomi. Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi, diantaranya adalah mengurangi pendapatan investasi (baik dari sisi nominal maupun dari pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan) yang berdampak pada menurunya minat investor untuk menanamkan modal. Korupsi mendorong misalokasi anggaran pendapatan dan pengeluaran negara, dimulai dari (potensi) korupsi yang muncul saat pungutan pajak hingga pengalokasiannya untuk pembelanjaan publik. Korupsi dalam sektor privat dapat meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Korupsi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, sehingga konsumen harus menanggung seluruh biaya produksinya. Hal ini menjadikan suatu perusahaan hanya mengutamakan kuantitas produksi daripada kualitas produknya, sehingga daya saingnya akan menurun. Korupsi yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebabkan kinerja yang tidak optimal sehingga tidak bisa mendorong peningkatan sektor ekonomi tertentu. Pada akhirnya, korupsi akan menciptakan marginalisasi ekonomi dan sosial bagi orang miskin.
Sosial Budaya. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Korupsi dapat menciptakan kesenjangan sosial yang pada akhirnya akan menciptakan kecemburuan sosial dan memicu terjadinya tindak kriminal serta hilangnya kepercayaan publik (trust) terhadap pemerintah.
Pertahanan dan Keamanan (HANKAM). Korupsi dapat mengakibatkan lemahnya sistem pertahanan dan keamanan akibat adanya penyelewengan dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk membeli fasilitas pendukung/militer (alutsista). Hal ini dapat dijumpai dengan adanya kendaraan (Pesawat, tank, maupun kapal) militer/tempur yang sudah tidak layak pakai. Selain itu adanya eksploitasi sumberdaya alam oleh oknum militer (TNI AL, AD, AU) yang merasa mempunyai kewenangan lebih atas wilayah tertentu dapat merusak sumber daya yang ada.
Sebagai bentuk upaya pemberantasan dan penanggulangan tindak kejahatan di korupsi oleh penulis perlu diutarakan bahwa realitas korupsi merupakan bentuk infeksi penyakit yang bersifat sistemik. Secara detail penulis mengutarakan bahwa penyebaran korupsi mirip dengan perilaku penyebaran penyakit kanker dan bentuk kolonialisme gaya baru. secara detail uraian terhadap keduanya dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini:
Korupsi cermin Kolonialisme terhadap Bangsa dan Negara
Bangsa Indonesia dan gagasan kebangsaan itu pada mulanya adalah suatu entitas yang abstrak dan belum pernah ada sebelumnya. Yang ada waktu itu adalah negara kolonial (colonial state) Hindia-Belanda, hasil konstruksi para sarjana Eropa yang diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri jajahan. Kolonialisme sebagai suatu sistem ialah berjalannya suatu mekanisme kuasa asing atas sebuah negeri dan rakyat jajahan untuk melanggengkan kekuasaannya dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut:
Kolonialisme itu berwatak ekspansif, yang selalu ingin meluaskan kuasa politiknya dari yang kecil menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan watak kapitalisme, yang dibawanya, yaitu selalu ingin mendapat keuntungan lebih besar daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain.#
Kolonialisme itu berwatak diskriminatif, anti-demokrasi, dengan menciptakan iklim ketergantungan abadi antara penjajah dan rakyat jajahan. Semua ditentukan berdasarkan hierarki kekuasaan dari atas dan dengan dukungan sistem feodalisme yang sudah berakar dalam masyarakat.
kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive) dengan memaksakan semua kehendak penjajah kepada rakyat jajahan atas metode kolonial. Hanya ada tiga metode kolonial yang lazim digunakan: (i) dengan menggunakan kekerasan bersenjata (pasifikasi); (ii) dengan instrumen hukum kolonial (exhorbitant recht), termasuk kontrak-kontrak, yang berpihak kepada rezim penguasa; (iii) dan dengan melanggengkan feodalisme dan menjinakkan kaum raja-raja, bangsawan/ penguasa lokal tradisional.
kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative), dengan memeras secara maksimal semua potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam negeri jajahan untuk kepentingan penjajah, dan sebagian besar hasilnya diangkut ke negeri penjajah.#
Dalam iklim dan watak kolonial itulah kaum nasionalis memperjuangakan kemerdekaan sebuah negara bangsa yang dicita-citakan. Rintangan utama pada masa ini, selain harus berhadapan dengan sistem kolonial Belanda yang keras dan wataknya yang sangat konservatif mereka juga harus berurusan dengan kondisi rakyat jajahan yang beraneka ragam, dan terpecah-pecah ke dalam sentimen lokal yang kuat. Rintangan psikis dan kultural ini hampir mustahil dapat dipecahkan. Lebih-lebih lagi karena mayoritas anak jajahan yang terserak di nusantara itu mengidap semacam penyakit inferior (minderwaardigheid complex), buta-huruf, bodoh, karena dibodohi, dan miskin karena dimiskinkan oleh sistem kolonial. Sementara itu sistem feodalisme yang bercokol di kalangan penguasa pribumi merupakan hambatan kultural yang tak mudah. Di samping hambatan kultural ini, cengkraman kekuatan imperialisme kolonial, dengan saudara kandungnya, kapitalisme Eropa, merupakan kekuatan global yang semakin sulit dibendung. Kapitalisme kolonial tidak hanya menciptakan kelas buruh yang hina, tetapi juga mengukuhkan kedudukan anak jajahan menjadi bangsa jongos. ”Bangsa koeli dan koeli bangsa-bangsa”, sebagaimana diutarakan oleh Soekarno.
Dalam konteks kekinian justru pasca kemerdekaan bentuk-bentuk penistaan terhadap bangsa hadir dalam wujud perilaku korupsi yang dilakukan oleh anak bangsa. Korupsi sebagai bentuk tindak kejahatan mencerminkan karakter dan moral bangsa yang tidak berperadaban. dengan demikian secara prinsipil perilaku korup sama dengan bentuk penjajahan terhadap bangsa sendiri mengingat watak dari penjajah sama dengan pelaku tindak kejahatan korupsi yaitu selalu ingin melebarkan sayap kekuasaanya, diskriminatif, menindas, dan eksploitatif. Oleh sebab itu perilaku karup merupakan ihwal penghambat bagi tegaknya sistem ketahanan negara demi terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis. Tidak mengherankan jika perilaku korup mengandung kesamaam dengan wujud penyakit kanker yang mana akan senantiasa menyerang ketahan tubuh. Dalam konteks bernegara maka perilaku korup akan senantiasa berimplikasi pada sitem pertahanan dan ketahanan negar terhadap pemenuhan atas rasa keadilan, persamaan, maupun kesejahteraan. Secara detaial uraian mengenai perilaku korup sebagi bentuk kanker dalam kehidupan demokrasi dapat dijelaskan sebagaimana berikut.
Korupsi Wujud Penyakit Kanker yang Menyerang Ketahanan Tubuh
Korupsi di Indonesia adalah penyakit endemik yang sulit disembuhkan. Penyakit ini sudah lama hinggap dan menyerang seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa. sebagai bentuk penyakit endemic korupsi mirip dengan penyebaran kanker yang menyerang sistem ketahanan. Tubuh dapat dipandang sebagai suatu negara dimana penduduknya adalah sel-sel tubuh yang terorganisasi dalam organ-organ tubuh yang membentuk sistem organ. Organ-organ tubuh dapat dianalogikan sebagai lembaga-lembaga pemerintahan atau institusi kemasyarakatan yang memiliki fungsi khusus dan saling bekerjasama dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberlanjutan dan keberadaan suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kemampuan mempertahankan diri. Setiap bangsa harus selalu siap menghadapi segala bentuk ancaman dan bahaya, baik dari dalam maupun dari luar. Kegagalan suatu negara untuk mempertahankan integritasnya dapat mengakibatkan kehancuran negara.
Berdasarkan pandangan diatas maka problematika pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan selesai hanya dengan memberlakukan suatu Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengan pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara detail wujud korupsi sebagai bentuk kanker dalam sistem ketahanan tubuh dapat digambarkan sebagaimana berikut ini:
Berdasarkan gambar diatas maka penulis hendak menawarkan upaya-upaya yang perlu diaktualisasikan sebagai solusi dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia. Adapun format yang ditawarkan adalah sebagaimana berikut ini:
Ekspansif
Diskriminatif
Oppreisive
Eksploitatif
Berdasarkan gambar diatas maka dapat di jelaskan bahwa dalam koridor pemberantasam korupsi maka perlu ditempuh melalui upaya antara lain:
Preventif
Upaya preventif merupakan upaya pencegahan terhadap perilaku korup yang dilakukan sebelum terjadinya kejahatan. ada beberapa sarana maupun metode yang bisa diterapkan terhadap upaya preventif antara lain:
Melalui Media Pendidikan
Sebagai salah satu instrumen untuk mencegah perilaku korup yaitu dengan mengoptimalisasikan peran sektor pendidikan. Sebagaimana termaktub di dalam alinea ke IV pembukaan UUD 1945 secara tersirat mengaskan bahwa hadirnya negara yaitu bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan secara holistik merupakan sarana untuk membentuk dan membangun sekaligus mencerminkan karakter suatu bangsa. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berpangkal pada visi tersebut hendaknya kurikulum pendidikan nasional baik pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi mengaktualisasikan pendidikan moralitas yang tidak hanya menekankan pada aspek penilaian secara kuantitatif (kognitif) semata. Akan tetapi lebih pada peningkatan kualitas perilaku dan pengembangan karakter. Dengan demikian dunia pendidikan akan memiliki peran yang sangat signifikan dalam memberikan pendidikan pencegahan terhadap perilaku korupsi bagi generasi di masa yang akan datang.
Melalui Media Agama
Segenap kehidupan lintas keagamaan menganggap bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela yang akan merusak kehidupan umat. Korupsi merupakan cermin perilaku yang tidak berperikemanusiaan dan berperadaban. Keikutsertaan agama pada konteks pencegahan dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan peran kontrol secara moral-spiritual. Bahwasanya, Hakikat keagamaan mengandung esensi keyakinan dan pencerahan bagi umatnya. Sehingga seruan terhadap moralitas anti korupsi diharapkan akan senantiasa menggema melalui media ceramah-ceramah keagamaan, dakwah, grand isu pada setiap agenda peringatan hari-hari besar keagamaan, pendidikan agama pada setiap jenjang pendidikan, maupun agenda ormas-ormas yang berbasiskan pada gerakan moral keagamaan.
Melalui Gerakan Non Struktural
Gerakan non struktural dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi kebijakan nasional dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi gerakan non struktural sebagaimana dimaksud meliputi
Organisasi Kepemudaan
Sejarah peradaban bangsa mencatat bahwa pemuda memiliki peran strateis dalam kerangka perubahan sebuah bangsa. Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. “The founding leaders” Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Hakikat dari sebuah tujuan untuk mendirikan negara Republik Indonesia yang tiada lain dengan maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.#
Oleh sebab itu ikhtiar yang perlu dilaksanakan yaitu merevitalisasi sekaligus menggugah makna spirit kebangsaan dan kebhinekaaan sebagai langkah strategis mewujudkan peran pemuda dalam menciptakan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera atau sering dikenal dengan istilah civil society atau masyarakat madani yang bebas dari perilaku korupsi. Karena pada prinsipnya berpangkal dari sebuah semboyan psikologis yang menyatakan bahwa didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat (mensana incor poresano). Memadukan antara jiwa bangsa (nation state) yang berpangkal pada titik keanekaragaman atau bangsa yang berbhineka dengan jiwa dan raga segenap insan bangsa Indonesia yang sehat maka diharapkan akan melahirkan formula yang ampuh dalam mewujudkan sekaligus pengejawantahan terhadap proses revitalisasi semangat bangsa yang berbhineka tunggal ika. Sehingga semangat yang hendak diwujudkan senatiasa tertanam di hati sanubari pemuda Indonesia bahwa tindakan korupsi akan senantiasa mengancam integritas bangsa.
Sebagai generasi penerus bangsa berawal dari kesadaran yang menjadi bagian integral dalam diri pemuda sebagimana diutarakan Arnold Toynbee yang menegaskan bahwa pemuda merupakan insan pembaharu (Human transformers) sekaligus sebagai insan berkepedulian (Human concern) yang selalu mencoba menjadi dinamisator pada Republik tercinta ini.
Dalam konteks ini Ali Syari’ati menegaskan bahwa merupakan sebuah konsekuensi dari pemikiran yang tercerahkan yang dengan penuh kesadaran untuk berusaha merubah tatanan yang menyimpang dari kemuliaan dan harkat manusia sebagai bagian integral dari totalitas generasi muda bangsa. Sehingga pemudalah yang menjadi kunci sekaligus ujung tombak dalam mengawal kepemimpinan bangsa menuju ke arah perubahan dan perbaikan bangsa dalam mewujudkan masyarakat yang madani. Bermodal dari ide-ide dan gagasan yang cemerlang merupakan tonggak utama lahirnya sebuah peradaban bangsa yang merdeka dan berdaulat. Oleh sebab itu tatanan sosial kemasyarkatan, tatanan politik, hukum, perekonomian, pendidikan, dan kebudayaan sudah selayaknya di dasarkan pada prinsip fundamental bangsa yang berbhineka. Sehingga pembagunan sebuah bangsa tidak akan melupakan identitas, karakteristik maupun jati diri bangsa.
Berpangkal pada realitas diatas maka sudah saatnya kaum muda Indonesia bangkit dan berani tampil sebagai pembaharu sekaligus arsitek bagi pembangunan bangsa Indonesia yang berorientasi pada sendi-sendi keadilan dan kesejahteraan sosial demi tegaknya bangsa yang merdeka dan berdaulat untuk bebas menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari pihak asing. Dengan demikian pemuda akan lahir sebagai bagian dari poros peradaban bangsa yang akan mengilhami sejarah perjalanan bangsa sebagai solusi sekaligus jawaban terhadap keberlangsungan estafet kepemimpinan di bumi pertiwi pada semua lapisan, baik di lingkungan supra struktur negara maupun di lingkup infra struktur masyarakat, terbuka luas untuk kaum muda Indonesia masa kini. Namun, dengan tertatannya sistim aturan yang kita bangun, proses regenerasi itu tentu akan berlangsung mulus dan lancar dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Oleh karena itu, orientasi pembenahan sistim politik, sistim ekonomi, dan sistim sosial budaya yang tercermin dalam sistim hukum yang berlaku saat ini sangatlah penting untuk dilakukan agar kita dapat menyediakan ruang pengabdian yang sebaik-baiknya bagi generasi bangsa kita di masa depan guna mewujudkan cita-cita bangsa yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta guna mencapai empat tujuan nasional kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kelompok penekan LSM/NGO
Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945 bahwa, keikutsertaan kelompok-kelompok penekan yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki bidang garapan berkaitan dengan kontrol terhadap tindak kejahatan korupsi merupakan bentuk partisipasi aktif dari warga negara untuk ikut serta dalam mempengaruhi arah kebijakan maupun kebijaksanaan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat konstitusi.
Peran Pers
Sebagai bagian dari pilar demokrasi dunia pers memiliki peran strategies dalam rangka memberikan peran dan fungsi kontrol terhadap perilaku korupsi di tanah air. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sebuah kemutlakan untuk mensosialisasikan, mendidik, sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pemberitaan dan penyiaran yang mengandung unsur edukatif serta peran kontrol sosial sehingga motif ekonomi terhadap bisnis disektor pers maupun penyiaran yang berorientasi pada profit akan senantiasa mendapatkan porsi yang seimbang. Ketentuan pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Serta ketentuan Pasal 3 yang berbunyi, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Merupakan dasar legitimasi bahwa pers merupakan bagian integral bagi tegaknya negara yang menganut prinsi-prinsip demokrasi.
Partai Politik
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional telah memasukkan partai politik sebgai salah satu institusi yang berlabel korup. Sebagi pilar demokrasi tentu hal ini sangat ironis. Mengingat bahwa pengisian jabatan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif masih menggunakan kendaraan partai politik. Di samping itu proses bargaining politik yang terjadi antara partai dengan para penyumbang modal kampanye pada akhirnya melahirkan politik konspirasi yang berujung pada tindakan etis atau dikenal dengan istilah balas budi. Sebagai institusi partai politik tentu memiliki andil besar dalam rangka proses kaderisasi di internal partai. Ketika realitas korupsi sudah menghinggapi tubuh birokrasi di Indonesia tentu diperlukan upaya revitalisasi dalam internal partai politik. Maka dari itu dalam kebangkitan untuk melawan budaya korupsi diperlukan upaya bertahap dari partai politik untuk memposisikan dirinya sebagai organ yang memiliki peran dan fungsi antara lain: #
Sarana komunikasi politik;
Sosialisasi politik;
Sarana rekruitmen politik;
Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dengan kedudukan partai politik yang berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation). Berbagai macam ide-ide, kritik, saran, gagasan diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi kepemimpinan. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Gabriel A. Almond dalam,”The Politics of The Developing area”, menyatakan bahwa fungsi-fungsi partai politik ada dua yaitu:
Fungsi Input yang terdiri dari:
Sosialisasi politik dan Rekruitmen politik
Dafid F Aberle dalam, 1993 ”Culture and socialization”, menyatakan bahwa, Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah di antisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus di pelajari.
Gabriel A. Almond, 1974 mengemukakan bahwa sosialisasi politik adalah:
”Proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik di peroleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik pada generasi berikutnya”
Artikulasi Kepentingan
merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh suatu masyarakat untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. kepentingan masyarakat tersebut biasanya diartikulasikan oleh berbagai macam lembaga atau badan-badan dengan berbagai cara. Lembaga-lembaga inilah yang menjalankan fungsi artikulai kepentingan yang terorganisir dalam suatu struktur yang sering disebut interest group atau kelompok-kelompok kepentingan.
Agregasi Kepentingan
Adalah fungsi mengubah atau mengkonversikan tuntutan-tuntutan sampai menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan umum.
Komunikasi politik
Komunikasi politik merupakan salah satu input dari sistem politik, yang mana komunikasi politik ini menggambarkan proses informasi-informasi politik. komunikasi Politik diasumsikan yang menjadi sistem politik itu hidup dan dinamis. komunikasi politik mempersembahakan semua kegiatan dari sistem politik, sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu maslah yang penting. Sebagai definisi Umum dapat dikatakan bahwa partisipai politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public policy).
Terdapat beberapa pendapat dari para tokoh tentang partisipasi politik diantaranya: Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science. mengatakan bahwa, “Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term ”Political Participation” will refer to those voluntary activities by which member of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy”#.
Sedangkan Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science mengatakan bahwa, “Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the action they take).#
Dalam konteks yang sama Samuel P. Huntington dan Joan M Nelson, dalam No easy Choice Political Participation in Developing Countries. Mengatakan bahwa partisipasi politik adalah “Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif“(By political participation we mean activity by private citizen designeg to influence government decision making. Participation may be individual or collective, organized or Spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective ineffective). #
Berkaca pada realitas teoritik akan arti pentingnya kehadiran partai politik dalam konteks penegakan demokrasi maka secara sinergi di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinan. Jadi partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Oleh sebab itu belajar dari praktek demokrasi maka penekanan untuk menciptakan sebuah media komunikasi politik yang handal tidak akan pernah lepas dari peran partai politik. Sehingga keberadaan kontrak politik yang dibuat oleh para calon kandidat kepala daerah lebih diminimalisasi dan mengutamakan pemaparan visi-misi beserta bukti praktis dari motor politik yang menghantarkan seseorang untuk berada diajang kandidat melalui prinsip partisipatif.
Detektif
Upaya detektif dimaksudkan sebagai sarana untuk menemukan titik rawan penyebaran korupsi dalam tubuh birokrasi di Indonesia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk menaggulangi perilaku korupsi secara sistematis, terencana, terpadu. Adapun upaya-upaya yang dilakukan antara lain:
Melalui Riset dan Pemetaan
Aktivitas penelitian atau riset dimaksudkan sebagai langkah untuk menjawab problematika pemberantasan korupsi di tubuh birokrasi baik dari sisi regulasi maupun institusi. Pelaksanaan riset yang berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan akan berujung pada deteksi pemetaan terhadap titik rawan maupun celah terjadinya peluang untuk berbuat korupsi. Dengan demikian pemerintah maupun masyarakat akan memiliki road pemberantasan korupsi yang akan senantiasa mampu menjadi pedoman dalam pemberantasan korupsi.
Pelaporan Harta Kekayaan Pejabat Negara Secara Berkala
Reformasi hadir dengan semangat memberantas KKN sampai ke akar-akarnya. Namun pemerintah yang datang silih berganti dalam masa yang pendek (empat presiden dalam masa kurang lebih tujuh tahun sejak 1998), belum secara signifikan menekan angka kebocoran anggaran. Praktek korupsi dalam bentuk penyuapan birokrasi maupun aparat penegak hukum masih merebak dan membudaya dikalangan elit birokrat di Indonesia. Perihal yang sangat baik yang pernah dilakukan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu menyusun instrumen hukum percepatan pemberantasan korupsi yang termaktub di dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut berisi 12 butir instruksi yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Para Gubernur, serta para Bupati dan Walikota. Secara garis besar, Inpres tersebut memuat instruksi-instruksi sebagai berikut:
Tabel VI Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Sifat Ditujukan Kepada Instruksi
Umum Seluruh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota Melaporkan harta kekayaan kepada KPK sesuai UU No 28/1999.
Membantu KPK menyelenggarakan pelaporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara di lingkungan masing-masing.
Membuat penetapan kinerja dengan para pejabat dibawahnya secara berjenjang.
Meningkatkan kualitas layanan kepada publik baik dalam bentuk jasa ataupun perijinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan, dan menghapuskan pungutan liar.
Menetapkan program dan wilayahnya menjadi program dan wilayah yang bebas korupsi.
Melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara konsisten untuk mencegah berbagai kebocoran dan pemborosan keuangan negara
Menerapkan kesederhanaan dan penghematan baik dalam urusan kedinasan maupun pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan.
Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara mempercepat pemberian informasi dan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka.
Melakukan kerja sama dengan KPK untuk menelaah dan mengkaji sistem-sistem yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi
Meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif di lingkungannya.
Khusus Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas Melakukan kajian dan uji coba untuk melaksanakan e-procurement yang dapat dipergunakan bersama oleh instansi pemerintah
Menteri Keuangan Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak dan anggaran untuk menghilangkan kebocoran dalam penerimaan keuangan negara, serta mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara yang dapat membuka peluang terjadinya praktek korupsi
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009
Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.
Menyiapkan rumusan kebijakan dalam rangka penyusunan penetapan kinerja dari para pejabat pemerintahan.
Menyiapkan rumusan kebijakan untuk penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada Pemerintahan Daerah, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Departemen.
Melakukan pengkajian bagi perbaikan sistem kepegawaian negara.
Mengkoordinasikan, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.
Menteri Hukum dan HAM Menyiapkan rumusan amandemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.
Menyiapkan rancangan perundangan-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menteri Negara BUMN Memberikan petunjuk dan mengimplementasikan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik pada Badan Usaha Milik Negara.
Menteri Pendidikan Nasional Menyelenggarakan pendidikan pendidikan yang berisikan substansi penanaman semangat dan perilaku anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan baik formal dan non formal
Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Menggerakan dan mensosialisasikan pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi di masyarakat
Jaksa Agung RI Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kepolisian Negara RI Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengambilan kerugian keuangan negara akibat
tindak pidana korupsi.
Gubernur, Bupati/ Walikota Menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah.
Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Sumber: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan tabel diatas hendaknya terdapat proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Sehingga akan terlihat secara nyata bentuk political will dari pemerintah sebagai wujud kesungguhan dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Mengaplikasi Metode Penyadapan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diakomodir dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dilandasi bahwa fenomena kejahatan di Indonesia sangat kompleks. Motif pelaku kejahatan korupsi tidak hanya semata dilatar belakangi oleh aspek ekonomi akan tetapi telah merambah pada aspek politik maupun teknologi. sebagaimana dirilis oleh media cetak maupun elektronik terkuaknya kejahatan korupsi di lingkungan pejabat negara maupun pengusaha melalui proses penyadapan pembicaraan melalui handphone. Akan tetapi dibalik penerapannya yang masih tumpang tindih menyebabkan kontroversi dari berbagai kalangan.
Mencuatnya perdebatan mengenai interception of communication atau yang lebih dikenal dengan penyadapan komunikasi, semakin hangat akhir-akhir ini setelah diperdengarkannya secara luas rekaman hasil penyadapan KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya beberapa hasil penyadapan yang diperdengarkan dalam ruang persidangan juga mendapat perhatian yang cukup besar. Mungkin kita masih ingat dengan diperdengarkannya hasil penyadapan Antasari, penyadapan terhadap Al Amin Nasution dalam kasus korupsi yang dikenal dengan skandal gadis berbaju putih, rekaman pembicaraan Artalyta dengan beberapa aparat yang diduga dari kejaksaan Agung dalam skandal suap Artalyta Suryani-Urip Tri Gunawan. Juga kasus suap yang menimpa mantan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal. Atau dalam kasus dugaan penyadapan atas seorang Jurnalis Majalah Tempo Metta Dharmasaputra oleh polisi terkait kasus Vincent.
Praktek Penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena dianggap sebagai invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Namun penyadapan juga sangat berguna sebagai salah satu metode penyidikan, penyadapan merupakan alternatif jitu dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun kejahatan yang sangat serius, dalam hal ini, penyadapan merupakan alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan.
Dari serentetan kejadian diatas menunjukkan bahwa tugas utama penegak hukum yang berwenang adalah meningkatkan pengawasan tingkat tinggi. Hal ini dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan keamanan negara agar mampu mempertahankan dan meningkatkan kemampuan melawan tindakan teror.
Salah satu langkah strategis adalah dengan memberikan kewenangan penuh menerapkan penyadapan yang sah secara hukum (lawful interception). Objek yang disadap adalah layanan komunikasi yang menggunakan/melintasi network operator, access operator, dan atau layanan internet melalui service provider. Dalam lawful interception, layanan internet didefiniskan sebagai:
akses ke internet itu sendiri
layanan-layanan yang menggunakan internet, seperti
browsing ke World Wide Web
email
groups
chat dan icq
Voice over IP
File transfer Protocol (FTP)
Telnet dan segala hal yang melintasi internet protocol.
Bagaimana jika lalu lintas data yang dienkrip? misal:
Secure e-mail (contoh PGP, MIME)
Secure surfing menggunakan HTTPS sepetri SSL, TLS
Virtual Privat Network Secure (VPNs) seperti pgp-phone
Jika lalu lintas data yang dienkrip tersebut menggunakan jaringan Nerwork Operator/ Access Provider / Service Provider maka data yang terenkripsi tersebut harus ditelanjangi/dikuliti dahulu sebelum dikirimkan dan atau data kunci atau enkriptor yang dibuat harus sesuai dengan yang disediakan oleh Law Enforcement Agency (LEA). Tindakan penyadapan yang dilakukan mengacu pada dua standar, yaitu: European Telecommunications Standards Institute (ETSI) berbasis di prancis dan Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea), berbasis di USA. secara sedrhana ditampilkan sebagimana berikut:
?
Definisi interception menurut ETSI Interception merupakan kegiatan penyadapan yang sah menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/ service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum. Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi, dalam pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, yaitu sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan “penahanan/pemotongan ditengah jalan” dan pokok materi harus tidak sadar atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini.
Bahkan untuk mendukung lawful interception, kelompok industri dan agen pemerintah masih terus mencoba menstandarisasikan pengolahan secara teknis dibelakang pemotongan tersebut. Hal ini berlaku tidak hanya di eropa tetapi diseluruh negara. Teknik implementasi penyadapan ini adalah
Penyadapan aktif , yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung
Penyadapan semi aktif, dan
Penyadapan pasif
Akan tetapi secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Tetapi Implementasi Lawful Interception di Indonesia tentu tidak mudah dan tidak murah dilakukan, mengingat sarana dan prasarana telekomunikasi yang ada di Indonesia tidak semuanya mendukung (uncomply) untuk diimplementasikan ke Lawful Interception. Justru, kemungkinan yang lebih visible untuk dilakukan penyadapan terhadap informasi ialah informasi yang lalu lintasnya menggunakan layanan internet sebab sarana dan prasarana yang ada telah lebih mungkin untuk dipersiapkan mendukung (comply) lawful interception.
Berdasarkan uraian diatas maka perihal keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar negara demokrasi demi terwujudnya kontrol sosial. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah bentuk representation in ideas yang tidak selalu inherent dalam representation in presence.#
Mengingat pentingnya informasi, maka hak atas informasi dan berkomunikasi diakui sebagai hak asasi manusia. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.# Ketentuan tersebut menunjukkan pentingnya informasi bagi setiap orang, tidak saja terkait dengan penyelenggaraan negara tetapi juga dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan kelompok. Sebagai hak asasi, maka adalah kewajiban negara untuk memajukan, menjamin, memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut.#
Hak atas informasi sebagai hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia# sebagai cakupan dari hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Jaminan yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).# Berdasarkan uraian tersebut penulis berpendapat bahwa perlu kiranya mengadopsi teknis maupun mekanisme penyadapan melalui asas yang bersifat ketat dan terbatas ebagai langkah untuk mengantisipasi praktek korupsi di tubuh birokrasi Indonesia.
Reformasi Hukum dan Reformasi Birokrasi
Moh Mahfud MD# mengutarakan bahwa hukum merupakan complex area. Oleh sebab itu, reformasi hukum tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus menyeluruh dan komprehensif, berkesinambungan, dan sistemik. Namun setidaknya berdasarkan persoalan di atas, agenda penting reformasi hukum adalah reformasi dalam proses pembentukan hukum (legislasi), reformasi birokrasi lembaga peradilan, pemberantasan korupsi, penegakkan dan penghormatan HAM serta pelibatan masyarakat agar partisipatif dalam proses reformasi hukum. Reformasi hukum dalam konteks perundang-undangan merupakan suatu proses yang komprehensif dan digerakkan secara konsisten oleh mesin perubahan dengan wewenang dan kendali yang jelas dan akuntabel.
Dalam implementasinya, reformasi hukum dalam proses legislasi harus memuat persyaratan sebagai berikut, pertama, ada upaya harmonisasi dan sinkronisasi substansi peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak terjadi tumpang tindih, kekurangjelasan, salah tafsir dan bentrokan kebijakan publik sebagai akibat dari peraturan yang tidak jelas dan tumpang tindih tersebut. Kedua, seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh ada yang bertentangan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Ketiga, seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung sedikit pun kemungkinan untuk digunakan sebagai celah melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan benturan kepentingan fungsi pejabat publik. Keempat, seluruh peraturan perundangan harus bisa mengubah masyarakat menjadi modern, berpendidikan tinggi, bersaing ketat dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan menjadi masyarakat terbuka yang menghargai pluralisme, tanpa melupakan jati diri bangsa ini. Kelima, seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku mampu menggerakkan ekonomi, mencapai angka pertumbuhan ideal, membuka kesempatan usaha berkeadilan dan mensejahterakan semua bagian masyarakat Indonesia.
Disamping upaya reformasi hukum sebagaimana telah diutarakan diatas hal yang juga mendasar yaitu dengan adanya reformasi disektor birokrasi. World Bank pernah melakukan studi mendalam mengenai korupsi dan pemberantasannya di enam negara yang mewakili negara berkembang, negara transisi dan negara insdustri, yaitu Guetamala, Kenya, Latvia, Pakistan, Filiphina dan Tanzania. Dari studi terhadap pola dan penyebab korupsi di enam negara tersebut, kemudian ditemukan sebuah matriks formulasi strategi dalam pemberantasan korupsi sebagai berikut:
Tabel VII. Matriks Formulasi Strategi Pemberantasan Korupsi
Kejadian Korupsi Kualitas Pemerintahan Prioritas Usaha Anti-Korupsi
Tinggi Buruk Menegakan rule of law, menguatkan institusi-institusi partisipasi dan akuntabilitas, menegakan supremasi sipil, membatasi intervensi pemerintah, mengimplementasikan reformasi kebijakan ekonomi
Medium Sedang Mendesentralisasi dan mereformasi kebijakan-kebijakan ekonomi dan manajemen publik
Rendah Baik Mendirikan badan-badan antikorupsi, menguatkan akuntabilitas keuangan, meningkatkan kesadaran birokrat dan masyarakat, mendorong komitmen dan perjanjian anti penyuapan, menjalankan high profile prosecution
Sumber : Anwar Shah and Mark Schacter, 2004
Berdasarkan matriks tersebut dapat terlihat sejumlah prioritas kegiatan anti korupsi dengan menimbang situasi dan kondisi pemerintahan dan skala kejadian korupsi di negara tersebut. Model ini mengasumsikan bahwa pada negara yang tingkat kejadian korupsinya “tinggi” maka kualitas pemerintahannya secara otomatis “rendah”. Negara yang tingkat kejadian korupsinya “medium” maka kualitas pemerintahannya juga sedang-sedang saja. Sedangkan pada negara yang kejadian korupsinya “rendah” maka bisa dipastikan negara tersebut memiliki kualitas pemerintahan yang “baik”. Model ini memang secara terang-terangan ingin mengatakan bahwa korupsi merupakan indikasi murni dari kesalahan pengelolaan pemerintahan paling fundamental. Dalam kasus kejadian korupsi yang tinggi (dan dengan demikian kualitas pemerintahannya “rendah”), misalnya, maka menjadi penting untuk memfokuskan kepada sebab-sebab yang mendasari terjadinya penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan untuk korupsi, dengan menegakan rule of the law dan menguatkan istitusi-institusi yang menjamin akuntabilitas, dan bukan mendirikan badan anti korupsi. Sebab ketiadaan institusi-institusi demokratis tersebut telah terbukti menjadi faktor paling penting yang menyebabkan terjadinya korupsi.
Dengan demikian misi adanya platform reformasi birokrasi adalah sebagai uapaya untuk membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya. Terdapat lima sasaran reformasi birokrasi antara lain: Pertama, terbentuknya, birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (man, money, material, methode, and time). Ketiga, birokrasi yang transparan, yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan. Untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut, tentunya diperlukan instrumen hukum sebagai pijakan atau fondasi reformasi birokrasi, guna mengarahkan dan memaksakan birokrasi pemerintahan ke arah pencapaian good governance. Untuk terwujudnya tata pemerintahan yang baik wajib hukumnya diterapkan Prinsip-prinsip yang meliputi :
Partisipasi masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Tegaknya Supremasi Hukum
kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Transparasi:
Transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Peduli dan stakeholder
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
Berorientasi pada consensus :
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
Efektifitas dan efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Visi strategis
para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Represif dan Rehabilitatif
Beberapa pecan yang lalu pada acara sebuah stasiun televisi ditampilkan potret kemewahan yang terdapat di dalam rumah tahanan (rutan). Fasilitas mewah diberikan kepada terpidana kasus suap Jaksa Urip yaitu Artalita. Temuan tim Satgas Mafia Hukum seakan membuka nurani mata dunia akan realitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam konteks ini maka upaya represif dimaksudkan sebagai langkah untuk memberikan punishment kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini sangat penting sebagai langkah untuk memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. adapun upaya represif yang seyogyanya dilakukan antara lain:
Maksimalisasi Hukuman, Praktek pemberian hukuman seumur hidup bagi koruptor yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi harus diberlakukan sebagai upaya untuk memberikan shock therapy para pelaku korupsi
Menerapkan beban pembuktian terbalik, Selama ini para pelaku korupsi selalu berkelit dalam proses pembuktian terhadap harta dari hasil kejahatan korupsi. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan peran strategis dari BPK maupun PPATK untuk melakukan audit secara berkala. Sehingga ketika terjadi kejanggalan dalam proses pembuktian maka pelaku harus dapat membuktikan jika harta kekayaan yang diperoleh bukan dari hasil korupsi.
Menjalin Perjanjian Ekstradisi, telah menjadi trend jika para pelaku kejahatan korupsi sering menggunakan motif melarikan diri dari Indonesia untuk menghindari jeratan hukum. Maka dari itu pemerintah melalui otoritasnya diharapkan secara aktif menjalin perjanjian bilateral dengan negara-negara yang lazim menjadi tempat pelarian untuk mengadakan perjanjian ekstradisi terhadap orang maupun aset kekayaan yang disimpan diluar negeri.
Penyitaan aset/harta hasil korupsi, terhadap harta-harta hasil kejahatan korupsi seyogyanya ditambahkan tidak hanya hukuman penjara semata akan tetapi juga menambahkan, hukuman terhadap para koruptor dengan menyita seluruh kekayaannya dan dikembalikan kepada negara. Upaya penyitaan ini dilakukan sesuai dengan harta yang diperoleh dari hasil korupsi.
Integratif
Sinergitas Lembaga Penegak Hukum
Amanat UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh sebab itu kaedah-kaedah penyelenggaraan negara harus didasarkan pada prinsip dan cita negara hukum yang demokratis. Dalam konteks ini perlu dipahami bersama bahwa Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu tion). Bah kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat an pe ne gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di mak sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me nyang kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang an, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses per adil an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke jak saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per adilan.#
Dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe ne gak hukum ini dapat dilihat pertama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti tusio na lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio na lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Dengan demikian Reformasi penegakan hukum seharusnya juga mencakup usaha yang sungguh-sungguh, ajeg dan konsisten untuk melakukan pembaharuan di semua institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung dengan seluruh bagian-bagian dan unit-unitnya. Selain itu juga mengubah fungsi dan kapasitas organisasi profesi hukum menjadi independen, bersih dan penuh kompetensi. Reformasi total aparat penegak hukum adalah sebuah keniscayaan (necessary condition) yang tidak bisa dielakkan. Apalah artinya suatu
peraturan hukum yang memenuhi prinsip-prinsip logika, jika aparat pelaksananya
tidak mau menggunakan logika dan akal sehat (common sense).# Agar prosesnya berjalan terarah, komprehensif, berkesinambungan dan mencapai hasil, perlu dikawal oleh berbagai instrumen evaluasi yang mengontrol efektifitasnya. Oleh karena itu, perlu kajian-kajian mendalam menyoal arah reformasi hukum setelah sekian waktu digulirkan, menyoal pilihan-pilihan sistem hukum yang akan dibangun beserta segenap alasan fundamentalnya, apa saja agenda-agenda guna membangun sistem hukum tersebut, sejauhmana perkembangannya, apakah terjadi penyimpangan dalam proses pembangunannya, bagaimana pendapat masyarakat sipil dalam melihat proses yang berjalan dan bagaimana perspektif dunia internasional dalam melihat proses reformasi hukum yang tengah berjalan di Indonesia. Itu semua diperlukan agar kejadiannya tidak seperti sekarang ini dimana reformasi hukum dicanangkan tetapi tidak ada pedoman dan sarana untuk mengontrol sampai sejauh mana reformasi hukum telah berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian sebagaimana telah disampaikan diatas menunjukkan bahwa realitas terhadap pemberantasan korupsi akan berada pada sebuah dimensi tantangan, hambatan, maupun ancaman. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa maka dalam hal pemberantasannya pun juga diperlukan upaya yang luar biasa pula. Sebagai komponen anak bangsa penulis yakin bahwa masih ada secerca harapan akan optimisme terhadap bangsa dan negara bahwa suatu saat nanti bangsa Indonesia akan keluar dai belenggu kejahatan korupsi. Melalui metode yang bersifat preventif, detektif, represif/rehabilitatif, integrative sebagaimana telah dipaparkan merupakan bentuk ikhtiar akan optimisme terhadap pemberantasan koruspsi di Indonesia.
Sumber Referensi
Ali, Said Damanik, EVALUASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI PEMERINTAHAN SBY-KALLA (Oktober 2004 – Mei 2005), diakses dari
http://www.theindonesianinstitute.com
Hasyim Muzadi, Benediktus, 2004, Menuju Indonesia Baru, Malang: Bayu Media Publishing,
IGM. Nurdjana, dkk, 2005, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Imran, Said, 2007, Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik, diakses dari
http://www.legalitas.org, diakses pada tanggal 7 Oktober 2007
Indriyanto Seno Adji, 2007,. Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara Dan Hukum Pidana. Jakarta: CV Diadit Media
International IDEA, 2000, (Lembaga Internasional untuk bantuan Demokrasi dan Pemilu), Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: International IDEA
Jimly, Asshidiqie, Bahan disampaikan pada acara acara Konferensi Mahasiswa Indonesia dengan tema "Kondisi, Harapan dan Konstribusi Nyata dari Pemuda"-BEM KM UGM, diakses dari
http://www.jimly.com
Jimly, Asshidiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006. diakses dari
http://www.jimly.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2010
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK
Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum, Upaya Menjaga Jati Diri da Martabat Bangsa, diakses dari
http://www.mahfudmd.com, diakses pada tanggal 10 Mei 2010
Mestika Zed, NASIONALISME INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA, Makalah disampaikan pada Kongres Pancasila, diselenggarakan oleh Universitas Gadjahmada bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi ,Yogyakarta, 30-31 Mei 2009
UUD Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sumber : Legalitas.org