Test Footer

Pengacara Kudus Abu Laes, SH dan Rekan

Tak Perlu Takut Bila Ada Razia Polisi

Minggu, 24 Juni 2012


Jakarta Masyarakat diimbau tidak apriori pada razia yang dilakukan pihak kepolisan. Razia, sejatinya digelar sebagai salah satu upaya menekan tingkat kejahatan. Tapi bila ada polisi yang melakukan penyalahgunaan wewenang saat razia itu, segera dilaporkan.


"Kalau ada kaitan penyalahgunaan wewenang, penyimpangan, misalnya orang yang dirazia diperas oleh polisi atau dimintai uang berarti ada pelanggaran. Itu boleh dilaporkan, sangat ditunggu sekali, kalau yang memeras mempersulit meminta uang laporkan saja. Kita komitmen pelayanan prima," terang Kabagpenum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar saat berbincang, Sabtu (23/6/2012).

Boy menjelaskan, razia yang dilakukan selama ini sangat efektif dalam menekan angka kejahatan. Razia itu macam bentuknya, salah satunya dengan memberhentikan masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor, memeriksa SIM dan STNK.

"Apabila ada hal yang dicurigai seperti bawa senjata tajam atau barang berbahaya lainnya dilakukan pemeriksaan. Kemudian apakah ada kemungkinan membawa benda sejenis narkoba. Itu tugas kepolisian yang diamanatkan UU," jelasnya.

Boy menjelaskan, setiap razia yang dilakukan pihak kepolisian di area publik selalu ada supervisi dari perwira kepolisian dan hasilnya juga dilaporkan. Polri juga membuka lebar-lebar kepada masyarakat untuk menanyakan surat tugas dalam melakukan razia tersebut.

"Silakan saja ditanyakan nama bapak siapa, NRP berapa, kesatuannya apa, nomor HP-nya berapa. Semua petugas kepolisian tercatat. Kami juga mohon dengan hormat agar jangan melakukan penyuapan. Tapi kalau ada yang meminta suap atau memeras silakan dilaporkan karena itu pelanggaran hukum," tuturnya.

Polisi berkomitmen melakukan pelayanan prima. Bila ada masyarakat yang merasa diperlakukan tidak sesuai dengan aturan silakan melakukan pelaporan. "Kita tunggu sekali laporannya," tegasnya.

(ndr/trq)

Potensi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan dan Penuntutanan



Ditulis oleh Mingguan BAKINNews   

Oleh : JJ. Dt. Pintu Langik, SH
Kata orang bijak “tiap-tiap kelebihan yang dimiliki manusia cenderung disalahgunakan, sekalipun hukum telah membatasinya,” hukum selalu memberi obat, apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum, sehingga fungsi dan tujuan hukum acara pidana (KUHAP) yang lazim disebut sebagai hukum pidana formal adalah bagaimana agar terciptanya tertib proses hukum dan terjaminnya penegakan hukum pidana materil seperti KUHAP dan Undang-Undang pidana non kaderfikasi lainnya.
Ketentuan hukum acara pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melidungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan pengadilan. Pada sisi lain hukum memberikan kewenangan kepada Negara Cq. Pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya yang melanggar hukum.
 Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan aspek penegak hukum dan hakim serta pihak penegak hukum lainya seperti peanasehat hukum (Advokat) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), serta Lembaga Permasyarakatan (LP). Hal yang selalu muncul dalam proses penegakan hukum tersebut adalah penggunaan kewenangan yang tidak benar oleh aparat penegak hukum, penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada pelanggaran atau terampasnya hak asasi warga Negara yang disangka melanggra hukum.
Jika ini terus menerus terjadi dapat disimpulkan sebagi bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan Negara hukum. Bahwa perlu diingat lagi disini ciri-ciri Negara hukum antara lain adalah pemerintah dalam menjalankan kekuasaanya harus berdasarkan hukum atau Perundang-Undangan yang berlaku. Adanya penghormatan dan jamin penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hal ini adalah warga Negara yang disangka atau didakwa telah melanggar hukum. Jaminan HAM itu harus dituangkan dalam hokum dasar tertulis, dalam hal ini adalah konstitusi atau UUD 1945 dan secara khusus dituangkan didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seta sebagian dituangkan didalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana upaya mengimplementasikan HAM kedalam Undang-Undang adalah untuk mendapatkan martabat bangsa yang merdeka.
Bahwa apabila penegak hukum tidak berjalan dengan baik atau seperti yang dikatakan orang banyak “sebaik-baiknya peraturan Perundang-Undangan itu dibuat, jika proses penegaknya tidak baik, itu berarti sama dengan tidak baiknya peraturan Perundang-Undangan itu sendiri.” Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan Perundang-Undang yang dijalankan oleh penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polisi, Jaksa, Hakim dan advokat atau instansi lainnya yang terkait seperti lembaga permasyarakatan, KPK dan lainnya.
Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia sejauh ini dapat dikatakan masih jauh dari harapan apalagi sempurna. Kelemahan utama sebenarnya bukan pada sistem hukum atau produk hukum, akan tetapi ada pada proses penegakan hukum itu sendiri. Khususnya menyangkut moral penegak hukum itu sendiri. Oleh karenanya harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan “kepastian hukum” masih sangat minim dan terbatas, penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Bahwa dalam proses peradilan yang paling sering dan sangat rentan terjadinya penyalahgunaan wewenag ada pada tingkat penyidikan dan penututan, karena pada tingkat tersangka atau terdakwa rentan diperlakukan sebagai objek, dimana dalam konteks ini tidak sedikit penyidik dilakukan dengan kekerasan (Violence) dan penyiksaan (Torture) dimana pemeriksaan dengan metode initelah sering dianggap lumrah dan bahkan telah membudaya meskipun sistem KUHAP menentangnya.
Bahwa KUHAP secara eksplisit telajh mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakuan kasar terhadap tersangka atau terdakwa, sebagaimana terdapat didalam pasal 52 KUHAP dan penjelasannya yang mengharuskan agar tersangka diperiksa dalam situasi bebas dari rasa takut atau ketakutan akibat intimidasi dan perlakukan kasar dari Penyidik.
Oleh karena itu, wajib dilegal adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangkan atau terdakwa, kalau kita lihat juga dalam Pasal 117 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan tersangka dan saksinya kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentukapapun. Selain pasal 52 dan pasal 117 KUHAP diatas didalam pasal 51 ayat 1 KUHAP telah pula menegaskan tentang hak tersangka untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.
Jika pasal 51 ayat 1, pasal 52 dan pasal 117 KUHAP dikaitkan dengan prinsip universal tentang hak tersangka untuk tidak menyalhkan dirinya sendiri (Non self incremination) sebagaimana secara implisit terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, serta jika dikaitkan lagi dengan pasal 189 ayat 3 KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.
Bahwa lemahnya sistem pengawasan baik internal maupun eksternal dalam tubuh Lembaga Kepolisian maupun Kebijaksanaan semakin menyuburkan praktek penyalahgunaan kewenangan oleh Polisi selaku penyidik dan Jaksa selaku penuntut umum, dimana berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh mereka (oknum penyidik dan penuntut umun) tersebut tidak pernah atau sangat jarang diberikan sanksi hukum yang tegas.
Bahwa prinsip-prinsip hak konstitusional tersangka yang berlaku secara universal dalm hukum positif di Indonesia khususnya dalam KUHAP baru dua buah prinsip yang telah diakomodasi, yaitu yang pertama prinsip bahwa seorang tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum (Vide: Pasal 54, 55 dan 114 KUHAP) dan yang kedua, prinsip jika tersangka tersebut tidak mampu maka penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka (Vide: pasal 56 ayat 1 KUHAP).
Bahwa hak konstitusional tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP, paling banyak mendapat perhatian dari para penegak hukum maupun para pemimpin Negara Indonesia baik di Ekslusif maupun Yudikatif, sehingga sangat terkesan bahwa pelanggaran tersebut dibiarkan. Bahwa pelanggaran hak konstitusional tersangka dalam prakteknya mempersubur praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) didalam proses peradilan pidana.
Maka perlu adanya mekanisme hukum yang memberikan sanksi yang tegas terhadap penegak hukum yang melanggar hukum acara pidana, baik yang terkodifikasi (KUHAP) maupun hukum acara pidana yang non kodifikasi dan guna menjamin agar benar-benar ditegakkannya. Hukum acara pidana oleh penegak hukum akan perlu dibentuk Komisi pengawas proses penegakan hukum pidana khususnya penerapan hukum acara pidana bagi tersangka disetiap tingkat wilayah hukum pengadilan negeri bersangkutan. ***

Puluhan WNI Tahanan AS Pindah Penjara



Newport, Rhode Island,
Sebanyak 41 orang dari 76 warga negara Indonesia (WNI) yang tertangkap dalam operasi besar-besaran oleh kantor imigrasi Amerika Serikat (AS) terhadap imigran ilegal di Pennsylvania beberapa waktu lalu, saat ini dipindahkan ke penjara di Albuquerque di negara bagian New Mexico, AS.

Konsul Jenderal RI untuk New York, Trie Edi Mulyani, di New Port, Rhode Island, Sabtu (30/6), menyatakan bawa WNI yang sudah dipindahkan ke New Mexico berjumlah 41 orang.

Sebelumnya, ketujuh puluh enam WNI yang tertangkap tersebut ditahan di empat penjara di Pennyslvania, yaitu Lackawanna County Jail (19 laki-laki), Pike County Jail (12 perempuan), York County Prison (32 laki-laki dan perempuan), serta Hudson County Jail (13 perempuan).

"Sekarang yang berada di York tinggal 16 orang, di Pike enam orang, di Lackawanna tiga orang dan di Hudson seluruhnya masih belum dipindahkan," kata Trie, sebagaimana dikutip dari Antara.

Pemindahan para tahanan WNI tersebut, menurut Trie, dilakukan oleh pihak imigrasi AS dengan tujuan untuk mempercepat proses persidengan terhadap mereka.

Pemindahan telah dilakukan sejak 25 Juni lalu.

"Jadi semuanya nanti akan secara bertahap dipindahkan ke Albuquerque," katanya.

Selain karena tinggal melebihi izin yang diberikan (overstay), para WNI yang tertangkap bersama sejumlah warga negara asing lainnya dalam penggerebekan di sebuah pabrik plastik di East Stroudsburg, Pennsylvania, pada 19 Juni 2007 tersebut, diketahui karena bekerja di AS menggunakan visa turis. [EL, Ant]

Penyalahgunaan Wewenang Polisi






1. Pungutan liar.
Kerap terjadi pada proses penerbitan SIM, STNK, BPKB, STCK, laporan/pengaduan perkara, pos-pos jaga lalu-lintas, kegiatan patroli, pangkalan ojek, pedagang kaki lima, dan sebagainya.

2. Pemerasan.
Sering terjadi jika masyarakat ingin kasusnya dipetieskan atau tutup perkara (SP3). Selain itu terjadi pula dalam modus 'biaya permohonan untuk tidak ditahan'.
3. Percaloan.
Banyak terlihat dalam praktik-praktik calo perkara, dengan menjadi makelar kasus alias markus. Percaloan juga terjadi dalam pengurusan SIM, STNK, BPKP, kasus-kasus tenaga kerja, dan sebagainya.
4. Manipulasi.
Biasanya hal ini terjadi dalam pembuatan sketsa gambar kecelakaan lalu-lintas, penerapan unsur pasal, rekayasa pengakuan atau keterangan, dan sebagainya.
5. Kolusi.
Modusnya antara lain aksi damai dengan masyarakat pelanggar hukum dan bersifat 'tahu sama tahu' untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkara.
6. Korupsi.
Biasanya terjadi dalam kasus pembebanan biaya tertentu kepada masyarakat dengan dalih sebagai prosedur, misalnya dalam uang jaminan penangguhan penahanan dan lainnya.
7. Penipuan.
Modusnya membohongi atau menakut-nakuti masyarakat sehingga masyarakat terpaksa menyerahkan sejumlah uang.
8. Penggelapan barang bukti.
Modusnya dengan cara menyisihkan sebagian barang bukti seperti kayu hasil curian (illegal logging), narkoba, kendaraan bermotor, yang kemudian digunakan untuk tujuan di luar proses peradilan.

Rekrim Kepolisian Banyak Lakukan Penyalahgunaan Wewenang



ANTARA JATENG – Senin, 24 Mei 2010
ANTARA – Central Java Police Watch mengungkapkan penyalahgunaan wewenang pada unit reserse kriminal kepolisian mendominasi pengaduan masyarakat tentang kinerja kepolisian di Jawa Tengah.
“Sekitar 70 persen pengaduan masyarakat tentang penyalahgunaan wewenang kepolisian berkaitan dengan kinerja unit reserse dan kriminal,” kata Koordinator Central Java Police Watch Aris Sunarto saat rapat kerja dengan Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, di Semarang, Senin.
Menurut dia, sejak tahun 2006, lembaga ini telah mencatat pengaduan sekitar 130 kasus penyalahgunaan wewenang oleh polisi.
Pada tahun ini, lanjut dia, sudah ada 17 aduan yang masuk tentang penyalahgunaan wewenang.
Ia menjelaskan pengaduan yang disampaikan ini cukup merata di seluruh wilayah di Jawa Tengah.
Ia menuturkan pengaduan yang disampaikan ini berkaitan dengan wewenang penyidik di kepolisian yang terlalu besar.
“Misalnya, ada kasus yang kurang bukti dan seharusnya dihentikan, tetapi ternyata tetap dilanjutkan,” katanya.
Pelanggaran disiplin dan kode etik polisi ini, kata dia, juga telah disampaikan kepada pimpinan polisi yang bersangkutan di masing-masing wilayah.
Selain itu, lanjut dia, DPRD Jawa Tengah diharapkan dapat membentuk posko pengaduan bagi korban penyalahgunaan wewenang polisi ini,
Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Jawa Tengah Arif Awaludin mengatakan legislatif kesulitan untuk meminta keterangan kepolisian sebagai organisasi vertikal
Meski demikian, lanjut dia, DPRD dapat memfasilitasi masyarakat jika ingin mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan kinerja kepolisian.
Bahkan, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan DPRD Jawa Tengah akan menggelar rapat kerja dengan Kepala Kepolisian Daerah provinsi ini untuk membahas kinerja kepolisian.
Selain itu, ia juga mengharapkan agar kepolisian lebih mengedepankan unsur pengayoman kepada masyarakat dibanding penindakan. m

Penyalahgunaan Kewenangan oleh Penegak Hukum



Penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pemolisian sebagai “senjata” dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Tindakan pemolisian itu dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik (atas perintah penyidik). Kewenangan melakukan tindakan pemolisian adalah satu-satunya pembeda antara penegak hukum dengan institusi lain dalam khazanah eksekutif negara.
Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum, tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Dalam pertimbangan putusan hakim pada praperadilan kasus sisminbakum dengan tersangka Romli Atmasasmita, Majelis Hakim mendalilkan bahwa setiap tindakan pemolisian selain harus memenuhi ketentuan perundang-undangan, juga harus memiliki alasan rasional yang obyektif dan diterima akal sehat. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang.
Kapan suatu tindakan pemolisian dapat dilakukan terhadap seseorang ?  Apakah ada batasan atau limitasi yang mengawali atau mengakhiri suatu tindakan pemolisian ? Apakah tindakan pemolisian yang sewenang-wenang dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran ? Hal-hal menarik ini sampai sekarang masih merupakan wilayah abu-abu yang membingkai kebingungan masyarakat dalam memahaminya.
Suati tindakan pemolisian erat kaitannya dengan upaya paksa. Dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa, penyidik memiliki alasan pembenar sehingga tuduhan pelanggaran HAM dapat dikesampingkan.
Kalau diperhatikan dengan seksama, setiap bentuk upaya paksa dalam tindakan pemolisian seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan selalu didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik”. Ini memberikan pesan bahwa tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka penyidikan. Tentu saja dalam konteks ini, dasar dari suatu penyidikan adalah surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyidikan, terkandung maksud untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kalau penyitaan dilakukan terhadap benda yang berkaitan dengan tersangka, maka tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan dilakukan dalam kaitannya dengan diri tersangka. Hanya saja, yang secara tegas menyebut “tersangka” adalah tindakan penahanan (Pasal 20 KUHAP) sedangkan tindakan penangkapan dan penggeledahan tidak secara khusus menyebut tersangka. Meskipun demikian, karena didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik” maka upaya paksa tersebut harus dipahami dalam kerangka pengumpulan bukti sebagaimana dimaksud oleh “penyidikan”.
Dalam konteks upaya paksa ini, ada dua peraturan yang secara tegas membolehkan adanya upaya paksa meskipun tahapan penanganannya belum sampai ke tahap penyidikan. Kedua peraturan itu ada dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang dan undang-undang imigrasi.
Dalam UU TP Pencucian Uang, dibolehkan adanya upaya penundaan transaksi dan pemblokiran harta kekayaan. Kedua tindakan tersebut tentu saja termasuk tindakan pelanggaran terhadap HAM. Ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 28A UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan”. Dapat dibayangkan betapa bingungnya seseorang yang tidak paham apa kesalahannya tiba-tiba transaksi keuangannya dihentikan atau harta kekayaannya di blokir.
Mungkin karena menyadari bahwa pelaksanaan kedua hal tersebut sangat urgen dan berkaitan dengan nilai ekonomis yang mudah berubah dalam hitungan detik serta agar tidak frontal menentang perlindungan hak asasi manusia, sejak awal pembentuk undang-undang menetapkan limitasi waktu. Terhadap penundaan transaksi hanya diberi waktu 5 hari sedangkan terhadap pemblokiran disediakan waktu 30 hari. Setelah jangka waktu tersebut maka pemblokiran harus segera dibatalkan demi hukum.
Upaya paksa lain sebelum tahap penyidikan dapat ditemukan dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi terdapat dalam pasal 16 ayat (1) b yang berbunyi : “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: ... (b) diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”. 
Terhadap hal ini, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kata “penyelidikan dan” dengan pertimbangan :
Mahkamah berpendapat penyelidikan itu masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.
Putusan Nomor 40/PUU-IX/2011 yang dikeluarkan tanggal 8 Februari 2012 tersebut merupakan angin segar bagi para pemerhati Hak Asasi Manusia karena dengan demikian dapat mengeliminir upaya kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan upaya paksa berupa pencegahan warga negara Indonesia ke luar negeri.
Sampul buku karya OC. Kaligis
Tentu belum lepas dari ingatan kita betapa dahulu pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra oleh KPK menjadi polemik yang berkepanjangan hingga berujung pada penetapan Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK menjadi tersangka oleh Kepolisian. Kedua pimpinan KPK tersebut menandatangani surat pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra di tengah kuatnya harapan publik atas pelaksanaan UU yang mengamanatkan kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur dan memberikan sanksi terhadap seorang penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya. Aturan tentang penyalahgunaan kewenangan yang selama ini dikenal masyarakat hanya berkaitan bilamana timbul kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sedangkan dalam hal tidak ada kerugian negara, atau hanya merugikan orang secara individual/kelompok, maka aturannya malah tidak jelas. Dalam hal penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang, paling jauh hanya dapat dikenakan Pasal 328 atau Pasal 333 tentang Perampasan Kemerdekaan.
Negara memang menyediakan mekanisme praperadilan, namun output praperadilan hanya merujuk secara khusus pada korban/penggugat. Tidak ada hukuman secara pidana yang dapat dikenakan pada penegak hukum meski secara terang-terangan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berakibat merugikan orang lain.
Dari sisi aturan, negara ini tertinggal, padahal dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sesuai Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/43 tanggal 29 Nopember 1985, disebutkan bahwa Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang meskipun belum dianggap pelanggaran undang-undang pidana nasional namun diakui secara internasional berkaitan dengan norma-norma hak asasi manusia.
Dari Deklarasi Majelis Umum tersebut nampak bahwa siapapun (termasuk penegak hukum) tidak dapat berlindung dibalik topeng kewenangannya untuk menyakiti atau merugikan orang lain karena perilaku tersebut telah digolongkan sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Mungkin sudah waktunya Negara menyediakan mekanisme pidana sebagai sistem untuk menjaga agar para penegak hukum tidak terus-menerus memproduksi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kewenangannya.

Test Footer 1

Popular Posts

 
Support : Copyright © 2013. Abu Laes, SH - Pengacara di Kudus - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Tum hi ho lyrics | How to get rid of hiccups

Proudly powered by Blogger