Hukum Fiqih - Hukum Fiqih |
Ulama Ushul Fiqh membagi ayat-ayat hokum dalam al-Quran kepada dua bentuk : yaitu (a) hokum-hukum yang bersifat rinci (juz’iy), sehingga ayat-ayat tersebut oleh mereka disebut sebagai hukumta’abbudi (yang tidak dapat dimasuki atau diintervensi akal), dan hukum-hukum yang bersifat global (kulli) yang merupakan sebagian besar kandungan ayat-ayat hukum dalam al-Quran, dalam hal ini Sunnah berperan sebagai penjelas, pengkhusus dan pembatas dari ayat-ayat tersebut.1 Hukum Islam dalam suatu masyarakat manapun dan dimanapun, adalah bertujuan untuk mengendalikan, mengatur, dan sebagai alat kontrol masyarakat, ia adalah sebuah system yang ditegakan, terutama untuk melindungi individu maupun hak-hak masyarakat. Sebagai suatu system hukum yang didasarkan kepada wahyu (nash), hukum Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan kemaslatan manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam pada intinya terdiri dari dua aspek ajaran ditinjau dari segi jenis sumbernya, yaitu : 1. Aspek syari’ah, ia berupa nash atau wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak, dan 2. Aspekfikih, berupa syari’ah yang telah diintervensi oleh akal dan pemikiran manusia yang kebenarannya bersifat nisbi.2 Dalam perumusannya hukum Islam mempunyai tujuan utama untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok (al-maqashid al-syar’iyyah), 1 Khairul Umam, Ushul Fikih,I, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), h. 55 2 Jaenal Arifin dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), h.57 2 yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan, dan harta. Kelima hal pokok tadi wajib diwujudkan dan dipelihara demi terwujudnya kemaslahatan manusia, yang dengan itu tercapailah apa yang disebut, kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.Dengan demikian, segala perbuatan atau tindakan yang bisa mengancam keselamatan salah satu dari kelima hal pokok teersebut, maka patut dianggap sebagai tindak kejahatan (delik) yang dilarang, dan untuk melindungi dan memelihara kelima hal pokok tersebut dan kemaslahatan manusia pada umumnya, Islam menetapkan dan menegaskan sejumlah peraturan-peraturan, baik berupa perintah maupun larangan, dan dalam hal tertentu aturan-aturan tersebut disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi duniawi dan/atau ukhrawi, jika peraturan tersebut dilanggar. Hukuman akhirat merupakan ganjaran atau balasan atas perbuatan menyimpang manusia selama hidup di dunia. Eksekusinya adalah dengan dimasukan ke dalam siksa neraka. Di dalamnya terdapat variasi hukuman yang disesuaikan dengan jenis dan kualitas dosa dan kesalahannya. Hukuman duniawi adalah hukuman yang diputuskan oleh Hakim dan dilaksanakan hukumannya di dunia.3 Hukuman duniawi ada dua macam, yaitu pertama yang berlandaskan nash berupa qishash, diyat dan had. Dan yang kedua yang tidak di dasarkan atas nash, melainkan diserahkan pa kebijaksanaan hakim untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yakni berupata’zir yang bentuk dan sifatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan melihat kepada lima hal pokok di atas, maka tindak kejahatan dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok besar, yaitu kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa manusia, kejahatan terhadap akal, kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan, serta kejahatan terhadap harta benda.4P em bahasan tentang masalah-masalah kejahatan inilah, yang dalam banyak literature dikenal dengan fih al-jinayah atau yang biasa disebut dengan Hukum Pidana Islam. Hukum Pidana adalah hukum yang bersifat publik, artinya ia adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, baik berupa fasilitas umum (negara) maupun kepentingan manusia sendiri, seperti jiwa, tubuh atau fisik dll. Dalam Hukum Pidana Islam praktek memberikan sanksi pidana kepada setiap pelangaran atau kejahatan yang bersifat publik tersebut, terbagai dalam tiga kategori sanksi utama yang sesuai 3 Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.227 4I b id., h. 107 3 dengan bentuk kejahatannya, yakni sanksi pidana hudud, sanksi pidana qishash- diyat, dan sanksi pidana ta’zir. Di dalam pembahsan kitab-kitab fikih klasik, masalah ‘uqubah itu selalu terintegrasi dengan bentuk-bentukjarimah (kejahatannya), sehingga terkesan bentuk-bentuk sanksi pidana dalam Islam mempunyai dampak psikologis masing- masing kepada pelaku kejahatan tertentu. Pada umumnya, yang dijadikan dasar pembicaraan justru adalah bentuk kejahatannya. Padahal, bentuk pidananya sendiri tidak terlalu mutlak tergantung kepada bentuk-bentuk tindak pidananya (delik), dan refleksi mengenai pengaruh atau dampak psikologis itu sendiri dapat berubah menurut perkembangan zaman, sehingga bisa saja salah satu bentuk pidana tersebut tidak lagi efektif sebagai bentuk pidana. Dari ketiga kategori sanksi pidana tersebut, yang menjadi permasalahan dan sering menjadi sorotan publik, adalah sanksi pidana dari jenishudud, danqishash- diyat. Kategori sanksi pidana ini yang bersifat nushushiyah, karena merupakan sanksi pidana yang telah ditentukan secara tegas dalam nash al-Quran maupun al- Sunnah. Sanksi pidana tersebut, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah, bila telah terpenuhi persyaratan atau pembuktiannya. Adapun sanksi pidana ta’zir, ia merupakan jenis hukuman yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash, baik oleh al-Quran maupun oleh al-Sunnah. Dengan demikian, kewenangan untuk menentukan sanksi pidana ta’zir ini, berada di tangan penguasa setempat (ulil amr), sehingga jenis hukumannya pun beragam sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Ta’zir merupakan pranata hukum yang memungkinkan hukum pidana Islam untuk menyesuaikan diri dengan perkembanghan kebutuhan menurut ruang dan waktu. B, Sanksi/Hukuman Pidana Korupsi Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif danb managerial yang ketat.Oleh karena itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang lain yang berkolusi dengan seorang pejabat. |
Home »
» SANKSI HUKUM KORUPSI DALAM ISLAM
SANKSI HUKUM KORUPSI DALAM ISLAM
Related Articles
If you enjoyed this article click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar