Home » » Potensi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan dan Penuntutanan

Potensi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan dan Penuntutanan



Ditulis oleh Mingguan BAKINNews   

Oleh : JJ. Dt. Pintu Langik, SH
Kata orang bijak “tiap-tiap kelebihan yang dimiliki manusia cenderung disalahgunakan, sekalipun hukum telah membatasinya,” hukum selalu memberi obat, apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum, sehingga fungsi dan tujuan hukum acara pidana (KUHAP) yang lazim disebut sebagai hukum pidana formal adalah bagaimana agar terciptanya tertib proses hukum dan terjaminnya penegakan hukum pidana materil seperti KUHAP dan Undang-Undang pidana non kaderfikasi lainnya.
Ketentuan hukum acara pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melidungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan pengadilan. Pada sisi lain hukum memberikan kewenangan kepada Negara Cq. Pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya yang melanggar hukum.
 Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan aspek penegak hukum dan hakim serta pihak penegak hukum lainya seperti peanasehat hukum (Advokat) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), serta Lembaga Permasyarakatan (LP). Hal yang selalu muncul dalam proses penegakan hukum tersebut adalah penggunaan kewenangan yang tidak benar oleh aparat penegak hukum, penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada pelanggaran atau terampasnya hak asasi warga Negara yang disangka melanggra hukum.
Jika ini terus menerus terjadi dapat disimpulkan sebagi bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan Negara hukum. Bahwa perlu diingat lagi disini ciri-ciri Negara hukum antara lain adalah pemerintah dalam menjalankan kekuasaanya harus berdasarkan hukum atau Perundang-Undangan yang berlaku. Adanya penghormatan dan jamin penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hal ini adalah warga Negara yang disangka atau didakwa telah melanggar hukum. Jaminan HAM itu harus dituangkan dalam hokum dasar tertulis, dalam hal ini adalah konstitusi atau UUD 1945 dan secara khusus dituangkan didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seta sebagian dituangkan didalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana upaya mengimplementasikan HAM kedalam Undang-Undang adalah untuk mendapatkan martabat bangsa yang merdeka.
Bahwa apabila penegak hukum tidak berjalan dengan baik atau seperti yang dikatakan orang banyak “sebaik-baiknya peraturan Perundang-Undangan itu dibuat, jika proses penegaknya tidak baik, itu berarti sama dengan tidak baiknya peraturan Perundang-Undangan itu sendiri.” Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan Perundang-Undang yang dijalankan oleh penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polisi, Jaksa, Hakim dan advokat atau instansi lainnya yang terkait seperti lembaga permasyarakatan, KPK dan lainnya.
Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia sejauh ini dapat dikatakan masih jauh dari harapan apalagi sempurna. Kelemahan utama sebenarnya bukan pada sistem hukum atau produk hukum, akan tetapi ada pada proses penegakan hukum itu sendiri. Khususnya menyangkut moral penegak hukum itu sendiri. Oleh karenanya harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan “kepastian hukum” masih sangat minim dan terbatas, penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Bahwa dalam proses peradilan yang paling sering dan sangat rentan terjadinya penyalahgunaan wewenag ada pada tingkat penyidikan dan penututan, karena pada tingkat tersangka atau terdakwa rentan diperlakukan sebagai objek, dimana dalam konteks ini tidak sedikit penyidik dilakukan dengan kekerasan (Violence) dan penyiksaan (Torture) dimana pemeriksaan dengan metode initelah sering dianggap lumrah dan bahkan telah membudaya meskipun sistem KUHAP menentangnya.
Bahwa KUHAP secara eksplisit telajh mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakuan kasar terhadap tersangka atau terdakwa, sebagaimana terdapat didalam pasal 52 KUHAP dan penjelasannya yang mengharuskan agar tersangka diperiksa dalam situasi bebas dari rasa takut atau ketakutan akibat intimidasi dan perlakukan kasar dari Penyidik.
Oleh karena itu, wajib dilegal adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangkan atau terdakwa, kalau kita lihat juga dalam Pasal 117 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan tersangka dan saksinya kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentukapapun. Selain pasal 52 dan pasal 117 KUHAP diatas didalam pasal 51 ayat 1 KUHAP telah pula menegaskan tentang hak tersangka untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.
Jika pasal 51 ayat 1, pasal 52 dan pasal 117 KUHAP dikaitkan dengan prinsip universal tentang hak tersangka untuk tidak menyalhkan dirinya sendiri (Non self incremination) sebagaimana secara implisit terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, serta jika dikaitkan lagi dengan pasal 189 ayat 3 KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.
Bahwa lemahnya sistem pengawasan baik internal maupun eksternal dalam tubuh Lembaga Kepolisian maupun Kebijaksanaan semakin menyuburkan praktek penyalahgunaan kewenangan oleh Polisi selaku penyidik dan Jaksa selaku penuntut umum, dimana berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh mereka (oknum penyidik dan penuntut umun) tersebut tidak pernah atau sangat jarang diberikan sanksi hukum yang tegas.
Bahwa prinsip-prinsip hak konstitusional tersangka yang berlaku secara universal dalm hukum positif di Indonesia khususnya dalam KUHAP baru dua buah prinsip yang telah diakomodasi, yaitu yang pertama prinsip bahwa seorang tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum (Vide: Pasal 54, 55 dan 114 KUHAP) dan yang kedua, prinsip jika tersangka tersebut tidak mampu maka penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka (Vide: pasal 56 ayat 1 KUHAP).
Bahwa hak konstitusional tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP, paling banyak mendapat perhatian dari para penegak hukum maupun para pemimpin Negara Indonesia baik di Ekslusif maupun Yudikatif, sehingga sangat terkesan bahwa pelanggaran tersebut dibiarkan. Bahwa pelanggaran hak konstitusional tersangka dalam prakteknya mempersubur praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) didalam proses peradilan pidana.
Maka perlu adanya mekanisme hukum yang memberikan sanksi yang tegas terhadap penegak hukum yang melanggar hukum acara pidana, baik yang terkodifikasi (KUHAP) maupun hukum acara pidana yang non kodifikasi dan guna menjamin agar benar-benar ditegakkannya. Hukum acara pidana oleh penegak hukum akan perlu dibentuk Komisi pengawas proses penegakan hukum pidana khususnya penerapan hukum acara pidana bagi tersangka disetiap tingkat wilayah hukum pengadilan negeri bersangkutan. ***

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Test Footer 1

Popular Posts

 
Support : Copyright © 2013. Abu Laes, SH - Pengacara di Kudus - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Tum hi ho lyrics | How to get rid of hiccups

Proudly powered by Blogger